Saturday, March 13, 2010

TEORI KOMUNIKASI


Teori Komunikasi
Banyak dari apa yang dipahami oleh manajemen publik berasal dari komunikasi efektif. Teori komunikasi adalah sebuah campuran dari sibernetik, linguistik, dan psikologi sosial. Bahasa teori komunikasi menyerupai bahasa teori sistem: input, throughput, output, loop feedback, entropi, homeostasis. Meskipun komunikasi selalu individu atau tunggal, pakar teori komunikasi cenderung menyebut kelompok kerja atau organisasinya sebagai unit analisis, dan dalam melakukan itu, mereka melakukan anthropomorphisme terhadap organisasi. Pikiran anthropomorphik memunculkan dugaan organisasi, memori organisasi, kesadaran organisasi, budaya organisasi, kemauan organisasi, dan khususnya pembelajaran organisasi – yang semuanya didasarkan pada komunikasi. Logika ini bisa membantu menghasilkan sebuah teori komunikasi manajemen, yang nantinya menjadi sebuah pengetahuan (Garnett, 1992).
Teori komunikasi yang ditemukan dalam administrasi publik menunjukkan bahwa komunikasi paling bawah, atau komunikasi dengan bawahan, menitikberatkan pada arahan tugas dan kebijakan dan prosedur organisasi. Komunikasi misi lembaga dan feedback kinerja seringkali diabaikan, hasilnya adalah moral rendah, kesukaan pada tugas rutin, dan persamaan dengan kinerja lembaga (Garnett, 1992). Manajer publik melebih-lebihkan kekuatan komunikasi lewat memoranda, e-mail, telepon, dan saluran lainnya, dan meremehkan kekuatan komunikasi langsung lewat tindakan manajerial. Penggunaan model internal dari efektivitas atau contoh kesuksesan organisasi adalah sarana efektif dari pembelajaran organisasi. Komunikasi efektif bisa terjadi ketika manajer membuat standar kerja lewat sarana kolektif dan memberikan feedback tentang kinerja seperti yang terukur menurut standar yang telah disetujui. Dengan membuat saluran menjadi jernih untuk komunikasi ke atas adalah sebuah penguat dalam teori komunikasi, seperti juga kepentingan dari saluran komunikasi yang redundan, multipel, dan saling terkait yang menurun, ke atas, dan lateral (Garnett, 1992).
Komunikasi efektif dengan lembaga lain dan dengan publik lembaga adalah sebuah fitur dari teori komunikasi manajerial. Komunikasi antar organisasi adalah yang paling sering berkaitan dengan perspektif pelatihan profesional dan dengan pelatihan reguler. Dalam sebuah area metropolitan, direktur pekerjaan publik kota, kepala polisi, kepala pemadam kebakaran, dan administrator kota seringkali berkomunikasi secara formal dan informal dengan rekannya; jaringan komunikasi lateral seringkali kuat dan tahan lama. Kadangkala dikatakan bahwa direktur pekerjaan publik kota menghabiskan lebih banyak waktu berkomunikasi dengan direktur pekerjaan publik kota lainnya dalam sebuah area metropolitan daripada dengan kepala lembaga lain di dalam pemerintah kotanya (Frederickson, 1997b). Komunikasi lateral dan koordinasi dalam organisasi kompleks dibantu dengan menugaskan orang penting kepada tanggungjawab yang disebut lynch-pin (Likert, 1961, 1967).
Komunikasi dengan publik eksternal biasanya melibatkan segmentasi publik dan prosedur berdesain khusus untuk komunikasi oleh posisi lembaga, kinerja, jasa, dan seterusnya. Komunikasi lembaga dengan sebuah kelompok kepentingan akan berbeda dari komunikasi dengan lembaga legislatif atau komite, atau anggota individu dari lembaga tersebut, contohnya. Komunikasi lembaga dengan publik yang efektif berkaitan dengan penerimaan dan pengiriman sinyal, dimana sebagian besar lembaga jauh lebih baik dalam menerima sinyal daripada mengirim sinyal. Pesan datang seringkali disaring ketat, sehingga manajer lembaga menerima sedikit dan potongan informasi dan seringkali tidak memahami substansi atau makna dari sinyal dari publik. Pendengaran selektif adalah masalah persisten dalam organisasi publik (Garnett, 1992).
Kemajuan paling signifikan dalam teori manajemen dari tahun 1950-an sampai 1970-an adalah dalam mengembangkan dan menguji teori menengah seperti teori kelompok, peran dan komunikasi. Sebagian besar dari upaya tersebut dijalankan dalam studi manajemen bisnis, bukan manajemen publik dan sekarang telah banyak ditemukan dalam literatur. Teori menengah, dan khususnya teori kelompok, peran, dan komunikasi, sekarang ini menjadi jalur teori manajemen dalam bisnis dan administrasi publik.
Teks Simon, Smithburg, dan Thompson yang dipublikasikan di tahun 1950 adalah yang di depan persaingan, dari dulu sampai sekarang, karena ini menggunakan teori menengah. Teks tersebut adalah sumber sebagian besar perkuliahan fakultas tentang teori manajemen dalam sektor publik (Simon, 1991). Sebagian besar teks yang ditulis di tahun 1970-an, 1980-an, dan 1990-an, menilai fungsi staff anggaran dan personel sebagai jika kesemuanya adalah manajemen, dan sebagian besar tidak menggunakan perlakuan terpisah untuk teori manajemen, dan membiarkan teori menengah memberikan kontribusi untuk itu.
Penggunaan paling lengkap dari teori menengah dalam administrasi publik ditemukan dalam Administrative Organization oleh James Pfiffner dan Frank P. Sherwood (1960). Penulisnya membuat struktur formal organisasi publik dan kemudian menggunakan konsep overlay untuk menggambarkan bagaimana organisasi bertindak dan bagaimana manajer berfungsi. Overlay menggambarkan modifikasi proses dan kondisi dan bagaimana ini mempengaruhi perilaku dan hasilnya. Sebuah organisasi publik, contohnya, dianggap memiliki “overlay kelompok” yang penting yang memberikan informasi perilaku kelompok bagi manajer; seorang manajer efektif harus memiliki teori kelompok mendasar untuk membantu menghasilkan keputusan dan tindakan manajemen. Ada juga overlay peran, overlay komunikasi, overlay pemecahan masalah, dan yang paling penting, overlay kekuatan. Buku Pfiffner dan Sherwood digunakan sebagai penggunaan teori manajemen paling lengkap dalam administrasi publik sampai setengah abad. Persediaannya dalam cetakan dari 1960 sampai 1967 adalah bukti kurangnya kepentingan dalam subyek manajemen dalam administrasi publik pada era tersebut.
Berita baiknya adalah bahwa teori manajemen menjadi kembali; bergerak maju sampai akhir tahun di abad 20. Kita memulai dengan pertanyaan berikut: Setelah lima puluh tahun, apakah teori keputusan positivistik dari Simon menepati janji akan teori yang diverifikasi secara empirik? Christopher Hood dan Michael Jackson (1991) berpendapat bahwa hasil ini mengecewakan pada tiga hitungan: Pertama, prinsip lama dari manajemen – pepatah Simon – tetap bertahan dan bahkan berkembang; kedua, tidak ada teori atau paradigma manajemen yang diterima umum atau yang disetujui dalam administrasi publik yang didasarkan pada teori keputusan; ketiga, ilmu administratif positivistik dari teori keputusan memberikan sedikit efek terhadap praktek setiap hari dari manajemen publik, dan bahasa, argumen, dan pengaruh prinsip manajemen dalam organisasi publik tetap bersifat “proverbial”. Ini sepertinya bahwa serangan Simon terhadap pendekatan proverbial pada administrasi tidak pernah ada, karena adanya semua pengaruh praktikal pada argumen administratif” (Hood dan Jackson, 1991).
Dengan berdasar kritik “ilmu pengetahuan yang campur aduk (muddling through)” terhadap teori keputusan, Charles Lindblom, dengan David K. Cohen, menemukan bahwa “penelitian sosial profesional” seperti ilmu keputusan jarang mempengaruhi kebijakan publik atau administrasi publik (1979). Tapi, proses interaktif dari argumen, perdebatan, penggunaan pengetahuan umum, dan bentuk pembelajaran sosial atau organisasi bukan hanya bentuk umum dari pemecahan masalah sosial, tapi juga lebih aman dan kurang menjadi resiko atau error skala besar. Giandomenico Majone, dalam Evidence, Argument, and Persuasion in the Policy Process (1989), menunjukkan bahwa keahlian analisis kebijakan dan kapasitas untuk terlibat dalam pemecahan masalah publik adalah bentuk dari sebuah dialektik yang sama dengan argumen atau perdebatan dari partisipan umumnya. Dialektik ini tidak seperti temuan otoritatif dari seorang ilmuwan dan lebih seperti perdebatan atau argumen pengacara.
Terakhir, sebagai sebuah metodologi penelitian dan sebuah epistemologi, positivisme kurang diterima secara universal daripada di pertengahan abad sebelumnya. Sebagian karena ini tidak menepati janjinya. Yang lebih penting, positivisme, khususnya positivisme logika yang membedakan antara nilai dan fakta, seringkali gagal mempertimbangkan nilai, norma, dan filosofi politik tradisional, dan kadangkala tidak mengenalinya. Positivisme dan meriam metodologi ilmu sosial dan epistemologi cenderung mendominasi perspektif akademis tentang teori manajemen dalam administrasi publik. Dalam praktek administrasi publik, meski begitu, positivisme kurang berpengaruh.
Sebagai cara untuk membedakan antara prinsip manajemen publik yang diverifikasi secara ilmiah dan prinsip yang mudah dipahami dan diterima, Hood dan Jackson berpendapat bahwa prinsip bisa dipahami secara lebih baik sebagai doktrin; dan sebagai doktrin, ini berpengaruh baik dalam perdebatan dan pelaksanaan kebijakan. Doktrin tersebut, menurut Hood dan Jackson, memiliki enam fitur: (1) Doktrin tersebut luas, ditemukan dimanapun organisasi berada; (2) merupakan “pandangan yang diterima” atau “kebijaksanaan yang diterima” yang terus berubah, yang berhubungan dengan metaphora, retorika, kemasan, dan presentasi, dan kurang berkaitan dengan keunggulan ilmiah yang obyektif atau konklusif dari satu pandangan daripada lainnya; (4) seringkali kontradiktif; (5) tidak stabil, cenderung berubah dan menjadi gaya pembuat rasa; (6) cenderung berotasi – ide lama yang berpakaian baju baru.
Tidak seperti prinsip dengan verifikasi ilmiah, doktrin ini diterima dengan alasan yang dijelaskan bukan oleh data kasar tapi dengan teknik analitik yang berkaitan dengan retorika. Dalam retorika, orang meyakinkan atau mempengaruhi orang lain dengan membuat solusi linguistik terhadap sebuah masalah, atau “memberi nama” masalah tersebut dalam sebuah cara yang menghasilkan persetujuan terhadap wacana aksinya. Penggunaan metaphora adalah kuncinya karena semua institusi disebut “paradigma kognitif” yang didasarkan pada persamaan pemahaman dan makna. Orang berpikir dalam seputar perdebatan aborsi di United States. Selama pemilihan presiden, Bill Clinton menyatakan bahwa “Saya secara pribadi menentang aborsi. Aborsi, meski begitu, seperti hukum tanah, tapi bila diberlakukan ini harus aman, dan jarang diberlakukan”; dengan mengulangi pernyataan tersebut, dia menemukan sebuah posisi tengah yang bisa diterima oleh sebagian besar pihak, meski bukan pihak dalam kelompok ekstrim.
Retorika membutuhkan penggunaan ambiguitas, penentuan posisi umum yang dapat dilihat dari spektrum luas dari posisi publik. Posisi tersebut harus sesuai dengan kebaikan umum atau yang lebih besar. Argumen tersebut bersifat selektif, yang berarti bahwa bukti harus ada untuk mendukung argumen, dan bila tidak, bukti tidak dibutuhkan. Supaya retorika tersebut sukses, pihak yang mendengarkannya atau menyaksikannya harus mau menahan ketidakpercayaannya, seperti ketika melihat theater yang bagus (Hood dan Jackson, 1991). Sebuah doktrin seperti “sebuah pemerintah yang bekerja lebih baik dan berbiaya sedikit” memiliki sebuah tampilan retorika kuat, menjadi ‘solusi’ bagi nilai kontemporer, bersifat ambigu, didukung oleh praktek terbaik terpilih, ditentukan dengan kebaikan lebih besar, dan berbiaya rendah meski jarang terjadi. Sifat tersebut membuat orang mencabut ketidakpercayaannya.
Masalahnya, tentu saja, adalah bahwa sebuah teori manajemen dalam administrasi publik yang didasarkan pada sebuah epistemologi dikatakan di luar phase (usang) menurut definisi ilmu pengetahuan biasa. Model “doktrin manajemen” yang menggunakan logika retorika adalah versi postmodern dan retrograde up-to-date dari deskripsi Aristoteles tentang solusi linguistik terhadap masalah sosial (1932). Dari perspektif orang yang melakukan pembuatan kebijakan dan administrasi publik, logika doktrin manajemen adalah sebuah penentuan teoritik yang mendekati realita – lebih dekat daripada teori pilihan rasional atau pembuatan keputusan – tapi teori keputusan ini lebih banyak terkait dengan akademisi.
Doktrin administrasi dapat digambarkan dalam cara berikut. (Ini adalah versi doktrin adaptasi, simplifikasi, dan kondensasi yang dituliskan Hood dan Jackson).

  1. Doktrin skala

    1. Besar-menengah-kecil

    2. Sentralisasi-desentralisasi



  1. Doktrin penyediaan jasa (bagaimana pengaturan dan pengelolaannya)

    1. Jasa pemerintah langsung

    2. Kontrak luar

    3. Privatisasi

  2. Doktrin penyediaan jasa (warga negara atau pilihan klien)

    1. Paksaan biaya dan keuntungan

    2. Memberikan pilihan biaya atau keuntungan

  3. Doktrin spesialisasi

    1. Menurut karakteristik kerja

    2. Menurut karakteristik klien

    3. Menurut lokasi

    4. Menurut proses

    5. Menurut tujuan

  4. Doktrin Kontrol

    1. Dengan input-anggaran, ukuran staff

    2. Dengan proses

    3. Dengan persaingan

    4. Dengan standar praktek profesional

    5. Dengan output

    6. Dengan hasil

    7. Politik langsung

    8. Administrasi langsung

  5. Doktrin diskresi

    1. Menurut hukum dan regulasi

    2. Menurut kebebasan profesional

    3. Deregulasi

    4. Pengambilan resiko

  6. Doktrin pekerjaan

    1. Seleksi dan promosi menurut jasa

    2. Seleksi oleh perwakilan kelompok

    3. Seleksi menurut keahlian teknis

    4. Seleksi menurut keahlian administrasi

    5. Seleksi menurut keahlian budaya

  7. Doktrin Leadership

    1. Leadership politik langsung

    2. Leadership administratif langusng

    3. Kompetensi netral/keahlian profesional

    4. Entrepreneurial/advokasi

  8. Doktrin Tujuan

    1. Pelaksanaan hukum

    2. Institusi yang tertib dan handal

    3. Dukungan perubahan

    4. Nilai tambah
Cara lain untuk berpikir tentang doktrin manajemen publik adalah beralih ke pertanyaan manajemen: Dalam kondisi apa kompetensi netral dan keahlian profesional menjadi lebih penting daripada responsivitas politik? Di lain pihak, dalam kondisi apa responsivitas politik menjadi lebih penting daripada kompetensi netral dan keahlian profesional? Apa yang menjadi masalah teknologi, geographik, dan manajerial yang menentukan apakah sebuah organisasi melakukan sentralisasi atau desentralisasi? Apa yang menjadi kriteria atau standar penunjukkan dan promosi dalam pekerjaan publik? Berapa banyak diskresi untuk birokrat street-level dan manajernya? Pertanyaan tersebut, yang diringkas sebagai doktrin, dijawab dengan prinsip sebelumnya dan doktrin kontemporer. Pertanyaan ini pada dasarnya sama, tapi jawabannya berbeda. Tabel berikut membandingkan jawaban terhadap pertanyaan yang ditemukan dalam prinsip tradisional dan kontemporer:
TABEL 5.2. Perbandingan Prinsip Tradisional Dan Kontemporer Dari Manajemen Dalam Administrasi Publik
Doktrin
Prinsip Tradisional
Prinsip Kontemporer
Skala
Besar-tersentral
Kecil-desentralis
Ketentuan Jasa
Jasa pemerintah langsung
Paksaan biaya dan keuntungan
Kontrak luar
Pilihan dalam biaya dan keuntungan
Spesialisasi
Menurut karakteristik kerja
Menurut proses dan tujuan kerja
Menurut karakteristik klien
Menurut lokasi
Kontrol
Dengan standar praktek profesional
Dengan input (anggaran, ukuran staff)
Dengan output, proses
Dengan administrasi
Dengan persaingan
Dengan hasil
Dengan administrasi
Diskresi
Menurut hukum, regulasi
Menurut kebebasan profesional
Menurut deregulasi
Menurut pengambilan resiko
Pekerjaan
Menurut pengabdian, tindakan afirmatif, keahlian teknis
Sama
Leadership
Berdasar kompetensi netral
Keahlian profesional
Berdasarkan advokasi entrepeneurial
Tujuan
Untuk menjalankan hukum. Untuk mengelola institusi secara tertib dan handal
Untuk memudahkan perubahan
Untuk menciptakan nilai publik

Literatur modern tentang manajemen dalam administrasi publik menggambarkan bagaimana prinsip tersebut muncul kembali. Semuanya menggunakan logika retorika, “bukti” empirik berdasar kasus selektif, dan jenis semangat misionaris (Graham dan Hays, 1993; Rainey dan Steinbauer, 1999; Osborne dan Gaebler, 1992; Barzelay, 1992; Cohen dan Eimicke, 1995). Seringkali missionaris, bukan politisi, konsultan, dan akademisi, merasa mudah melakukannya jika ada setan, kerajaan setan, atau straw man. Dalam teori manajemen publik, setannya adalah BIROKRASI. Doktrin manajemen publik yang disukai dianggap sebagai cara untuk “menghilangkan birokrasi atau memunculkan kembali pemerintah; bagaimana semangat entrepreneurial bisa merubah sektor publik dari schoolhouse menjadi statehouse, balai kota menjadi Pentagon” (Osborne dan Gaebler, 1992). Doktrin ini dipertegas, seperti delapan puluh tahun yang lalu, dengan temuan apa yang disebut praktek terbaik daripada ilmu sosial replikasinya (Osborne dan Gaebler, 1992; Cohen dan Eimicke, 1995). Prinsip modern dari manajemen publik entrepreneurial sekarang menjadi sebuah hegemoni dalam praktek administrasi publik.
Doktrin ini diberi nama “New Public Management” (NPM) dan kadangkala disebut sebagai “manajerialisme baru”. Ini memiliki basis kuat di Eropa Barat, Australia, dan Selandia Baru, ataupun di United States. Organization for Economic Cooperation and Development adalah pendukung kuat dari New Public Management dan mendorong negara untuk menggunakan prinsip tersebut. Meskipun ada kritik ekstensif dalam New Public Management, ini adalah sebuah generalisasi yang aman bahwa prinsip bisa diterima luas dalam praktek modern administrasi publik (Frederickson, 1997a). Apakah aplikasi prinsip tersebut adalah pemerintah yang lebih baik, dan khususnya pemerintah yang lebih baik untuk siapa, masih menjadi perdebatan. Tidak diragukan bahwa aplikasi prinsip awal dari manajemen menghasilkan pemerintah yang lebih bersih, efisien, dan profesional. Tapi dengan itu didapatkan pemerintah yang lebih besar dan lebih mahal. Hanya waktu yang bisa memberitahu apakah prinsip New Public Management akan menepati janjinya.
Menurut teori tersebut, didapatkan kesimpulan. New Public Management sangat berpengaruh dalam praktek administrasi publik. Dalam waktu postmodern dan retorika, New Public Management dapat dijelaskan dan dipahami sebagai doktrin manajemen yang bisa diterima. Tapi, meriam ilmu sosial menghendaki adanya identifikasi tepat terhadap variabel yang ada, presisi lebih banyak dalam hubungan antara variabel, presisi lebih besar dalam pengukuran, dan replikasi temuan yang lebih besar. Penelitian yang menggunakan teknik ini menunjukkan bahwa prinsip New Public Management menghasilkan peningkatan efisiensi yang selektif dan jangka pendek; berhubungan negatif dengan kejujuran, kesetaraan, atau keadilan; jarang mengurangi biaya; dan menghasilkan sejumlah cara inovatif untuk mencapai tujuan publik atau kolektif (Berry, Chackerian, dan Weschler, 1995; DiIulio, Garvey, dan Kettl, 1993).



Leadership Sebagai Manajemen Publik
Aspek paling menarik dari kebangkitan manajemen dalam administrasi publik adalah keutamaan leadership sebagai sebuah ide yang melegitimasi dan memberdayakan. Sumber literatur kontemporer tentang leadership dalam administrasi publik ditemukan dalam pemikiran kebijakan publik atau studi kebijakan. Sebagian besar ditentukan pada tahun 1970-an pada banyak universitas terkenal di Amerika, yang beberapa di antaranya mengganti atau menggunakan program kelulusan dalam administrasi publik. Dari situ dibentuk American Association for Policy Analysis, yang selanjutnya berubah menjadi American Association for Policy Analysis and Management, dan pada tahun keenam belas menghasilkan Journal of Policy Analysis and Management. Satu bagian dari metodologi yang disetujui atau dipahami adalah studi kasus, yang didukung dengan observasi partisipan, yang dimaksudkan untuk menghindari “tangan kematian dari ilmu sosial”. Analisis kebijakan, dan khususnya alat ekonomi mikro, adalah bentuk metodologi kedua. Pendekatan tersebut bersifat antar disipliner, menurut deskripsi ilmu kebijakan Lasswell.
Di beberapa tahun sebelumnya, pemikiran yang berasal dari studi kebijakan berisi analisis kasus dan kebijakan, dan yang paling terkenal adalah deskripsi Graham Allison tentang pembuatan kebijakan sebagai politik birokratik selama Krisis Misil Kuba (Allison, 1971). Dalam perspektif Allison, politik birokratik berarti bercampur dengan ahli luar, agensi, atau pejabat departemen, dan pejabat politik (biasanya ditunjuk bukan dipilih) untuk memecahkan masalahnya. Politik birokratik bisa menjadi cara yang disukai untuk menteorikan peran manajer publik dalam membuat kebijakan; yang dimaksudkan untuk membuat teori tentang manajemen keseharian dari sebuah biro atau sebuah kantor. Birokrat, dalam kebijakan tinggi, dianggap sebagai leader, menurut perspektif melegitimasi. Setiap waktu, pendekatan leadership kepada manajemen bisa muncul dan berkembang secara penuh. Leadership adalah salahsatu topik dalam ratusan kasus yang digunakan dalam Program Kasus Pemerintah Kennedy School. Studi manajemen dalam pelajaran kebijakan menjadi studi tentang apa yang dilakukan leader, bukan studi tentang teori manajemen, baik dalam bentuk orisinil atau kontemporer.
Robert D. Behn menggambarkan leadership sebagai kunci terhadap peningkatan kinerja dalam Program Kesejahteraan, Pelatihan, dan Pekerjaan Massachusetts (1991). Kualitas pendidikan dalam sekolah dasar bisa ditemukan dalam leadership (Meier, Wrinkle, dan Polinard, 1999). Apa yang menentukan kualitas sebuah penjara? Leadership (Di Iulio, 1987). Menurut Cooper dan Wright, peran legendaris dari Robert Moses dan Austin Tobin dalam perkembangan New York Port Authority perlu dicermati di sini (1992) (Cooper dan Doig). Ada juga studi impresif dari William Ruckelshous (Dobel, 1992); Elmer Staats (Frederickson); C. Everett Koop (Bowman); Elsa Porter (Radin); Marie Ragghiaonti (Hejka-Ekins); Beverly Myers (Stivers, 1992); George Marshall dan I. Edgar Hoover (Hart dan Hart); dan George P. Hartzog (Sherwood) dalam Cooper dan Wright (1992); Bahkan Daryl Gates, sheriff Los Angeles County, sebelum insiden Rodney King di 1996 pernah digambarkan sebagai leader (Moore, 1995)
Perbedaan antara leadership dan manajemen kadangkala ditemukan dalam kalimat Warren Bennis dan Buert Nanus yang terkenal, “manajer melakukan sesuatu dengan benar, leader melakukan sesuatu yang benar” (1985). Bennis dan Nanus (1985) berpendapat bahwa ada banyak manajemen dan tidak banyak leadership, khususnya dalam bisnis Amerika. Heiferz menggunakan teori kelompok dan teori komunikasi untuk merumuskan sebuah argumen perseptif bahwa leadership adalah yang membantu kelompok dan organisasi untuk menjalankan “pekerjaan adaptif” dan yang khususnya sulit dilakukan dari posisi otoritas (1994). Tidak banyak bukti yang meyakinkan bahwa ada perbedaan penting antara leadership dan manajemen, selain label beberapa hal sebagai leadership dan dianggap penting, dan lainnya diberi label manajemen yang dianggap kurang penting.
Dalam gambaran lebih besar, emphasis pada leadership dalam administrasi publik seringkali dipengaruhi oleh kebangkitan dalam studi leadership dalam banyak bidang dan disiplin.
Dua perlakuan terbaik untuk manajemen publik sebagai leadership adalah dari Mark H. Moore dengan Creating Public Value: Strategic Management in Government (1995) dan koleganya di Kennedy School of Government di Harvard, Ronald Heifitz dengan Leadership Without Easy Answers (1994). Mereka tidak menggunakan prinsip manajemen, meskipun referensi Moore banyak diperoleh dari literatur New Public Management. Karakteristik atau kualitas leadership yang ditunjukkan Moore setelah membahas banyak studi kasus dalam koleksi Harvard adalah:
Sebagai sebuah jenis tertentu dari kesadaran: ini bersifat imajinatif, bertujuan, mengandung upaya, dan perhitungan. Ini semua menfokuskan pada peningkatan nilai organisasi di mata masyarakat luas. Dalam mencari nilai tersebut, pemikiran diarahkan pada kondisi konkrit dalam mencari peluang sekarang untuk besok. Berdasarkan potensi yang dilihat, ini menjadi ukuran dari apa yang dilakukan; bagaimana mendefinisikan tujuan, membuat hubungan dengan pengawas dan coproducer politik, dan menciptakan arahan kerja organisasi. Selanjutnya, yang paling menonjol, ini akan bergerak ke depan dan melakukan seperti yang telah diukur.
Temuan ini adalah sebuah versi leadership dari penelitian praktek terbaik yang ditemukan di literatur New Public Management, dan didasarkan pada observasi langsung yang menggambarkan sebuah kejadian yang sulit diulangi. Ini adalah teori yang didasarkan pada temuan kualitatif yang lunak, yang sulit diulangi, dan sulit menghasilkan temuan atau kesimpulan dari pengetahuan atau data. Penelitian ini adalah serangkaian potret sekilas tentang apa yang terjadi dan bagaimana ini terjadi dalam satu kasus.
Mungkin cara lebih baik untuk melihat kerangka ini adalah dari anthropologi budaya, dimana ada asumsi, pertama, bahwa “realita’ adalah konstruksi sosial, bukan sebuah sesuatu atau phenomena yang obyektif yang sama untuk semua pengamat; dan kedua, bahwa organisasi adalah sebuah sistem dari makna yang dibuat secara sosial dan disusun secara kognitif (Lynn, 1996; Boisot, 1986; Weick, 1995). Bentuk pengetahuan ini adalah tidak tertulis, yang dipahami tapi tidak terucap, tapi diterima secara umum; ini juga dianggap tidak jelas, ambigu, dan tidak pasti, tapi seringkali menjadi acuan penting untuk perilaku. “Pengetahuan yang berkode (tersusun), sebaliknya, lebih bersifat impersonal, kurang berkaitan dengan sosialisasi atau pengalaman tapi berkaitan dengan keahlian dalam pikiran abstrak atau alasan linear” (Lynn, 1996).
Laurence E. Lynn, Jr., membuat observasi informatif dalam bentuk teori manajerial berikut:
Beberapa tipe pengetahuan muncul lebih mudah, karena lebih linear dan impersonal daripada lainnya. Pertimbangan tentang kehormatan dan kepercayaan tidak berpengaruh apapun. Kita bisa menyebut pengetahuan ini sebagai “ilmiah” atau “teknokratik”. Pengetahuan yang tidak berkode (tidak tersusun) dan tidak disebarkan, seperti pengetahuan intuitif tidak tertulis tentang manajer yang bijaksana dan berpengalaman yang berkomunikasi dalam forum tatap muka dan lewat contoh perilaku, adalah yang sulit dikuasai dalam cara konvensional karena ada pertimbangan lain selain logika dan literal. Kita menyebut keahlian yang sulit-didapatkan ini sebagai ‘artistik’.
Karena pengetahuan berkode, teknokratik, pelajaran universitas, workshop yang diawasi, dan masalah atau tugas formal lainnya, semuanya menitikberatkan pada pencapaian tujuan individu, maka ini bisa menjadi pendekatan paling efisien untuk pembelajaran. Karena pengetahuan artistik, tidak tertulis, mentorship, apprentichesip, dan internship, cenderung mengarah pada sosialisasi – dan mungkin menjadi pengalaman on-the-job yang panjang – ini menjadi cara paling efisien untuk menghasilkan pembelajaran. Bila tipe pengetahuan tersebut, atau integrasinya, dibutuhkan untuk sukses, pengalaman dalam situasi kerja yang melibatkan kebutuhan sosial dan intelektual – contohnya, diskusi kasus yang membutuhkan aplikasi campuran kerangka analitik – bisa menjadi pendekatan yang tepat untuk pembelajaran.

KEPEMIMPINAN

 1. Pengertian Kepemimpinan
Secara sederhana, apabila berkumpul tiga orang atau lebih kemudian salah seorang di antara mereka “mengajak” teman-temannya untuk melakukan sesuatu [Apakah: nonton film, berman sepek bola, dan lain-lain]. Pada pengertian yang sederhana orang tersebut telah melakukan “kegiatan memimpin”, karena ada unsur “mengajak” dan mengkoordinasi, ada teman dan ada kegiatan dan sasarannya. Tetapi, dalam merumuskan batasan atau definisi kepemimpinan ternyata bukan merupakan hal yang mudah dan banyak definisi yang dikemukakan para ahli tentang kepemimpinan yang tentu saja menurut sudut pandangnya masing-masing. Beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli sebagai berikut :
1] Koontz & O’donnel, mendefinisikan kepemimpinan sebagai proses mempengaruhi sekelompok orang sehingga mau bekerja dengan sungguh-sungguh untuk meraih tujuan kelompoknya.
2] Wexley & Yuki [1977], kepemimpinan mengandung arti mempengaruhi orang lain untuk lebih berusaha mengarahkan tenaga, dalam tugasnya atau merubah tingkah laku mereka.
3] Georger R. Terry, kepemimpinan adalah kegiatan mempengaruhi orang-orang untuk bersedia berusaha mencapai tujuan bersama.
4] Pendapat lain, kepemimpinan merupakan suatu proses dengan berbagai cara mempengaruhi orang atau sekelompok orang.
Dari keempat definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa sudut pandangan yang dilihat oleh para ahli tersebut adalah kemampuan mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan bersama.
Definisi lain, para ahli kepemimpinan merumuskan definisi, sebagai berikut: [1] Fiedler [1967], kepemimpinan pada dasarnya merupakan pola hubungan antara individu-individu yang menggunakan wewenang dan pengaruhnya terhadap kelompok orang agar bekerja bersama-sama untuk mencapai tujuan [2] John Pfiffner, kepemimpinan adalah kemampuan mengkoordinasikan dan memotivasi orang-orang dan kelompok untuk mencapai tujuan yang di kehendaki. [3] Davis [1977], mendefinisikan kepemimpinan adalah kemampuan untuk mengajak orang lain mencapai tujuan yang sudah ditentukan dengan penuh semangat . [4] Ott [1996], kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai proses hubungan antar pribadi yang di dalamnya seseorang mempengaruhi sikap, kepercayaan, dan khususnya perilaku orang lain. [5] Locke et.al. [1991], mendefinisikan kepemimpinan merupakan proses membujuk orang lain untuk mengambil langkah menuju suatu sasaran bersama Dari kelima definisi ini, para ahli ada yang meninjau dari sudut pandang dari pola hubungan, kemampuan
mengkoordinasi, memotivasi, kemampuan mengajak, membujuk dan mempengaruhi orang lain.
Dari beberapa definisi di atas, ada beberapa unsur pokok yang mendasari atau sudut pandang dan sifat-sifat dasar yang ada dalam merumuskan definisi kepemimpinan, yaitu:
a.Unsur-unsur yang mendasari
Unsur-unsur yang mendasai kepemimpinan dari definisi-definis yang dikemukakan di atas, adalah: [1] Kemampuan mempenga ruhi orang lain [kelom pok/bawahan]. [2] Kemampuan mengarahkan atau memotivasi tingkah laku orang lain atau kelompok. [3] Adanya unsur kerja sama untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
b. Sifat dasar kepemimpinan
Sifat-sifat yang mendasari kepemimpinan adalah kecakapan memimpin. Paling tidak, dapat dikatakan bahwa kecakapan memimpin mencakup tiga unsur kecakapan pokok, yaitu: [1] Kecakapan memahami individual, artinya mengetahui bahwa setiap manusia mempunyai daya motivasi yang berbeda pada berbagai saat dan keadaan yang berlainan. [2] Kemampuan untuk menggugah semangat dan memberi inspirasi. [3] Kemampuan untuk melakukan tindakan dalam suatu cara yang dapat mengembangkan suasana [iklim] yang mampu memenuhi dan sekaligus menimbulkan dan mengendalikan motivasi-motivasi [Tatang M. Amirin, 1983:15]. Pendapat lain, menyatakan bahwa kecakapan memimpin mencakup tiga unsure pokok yang mendasarinya, yaitu : [1] Seseorang pemimpin harus memiliki kemampuan persepsi sosial [sosial perception]. [2] Kemampuan berpikir abstrak [abilitiy in abstrakct thinking]. [3] Memiliki kestabilan emosi [emosional stability].
Kemudian dari definisi Locke, yang dikemukakan di atas, dapat dikategorikan kepemimpinan menjadi 3 [tiga] elemen dasar, yaitu:
1] Kepemimpinan merupakan suatu konsep relasi [relation consept], artinya kepemimpinan hanya ada dalam relasi dengan orang lain, maka jika tiadak ada pengikut atau bawahan, tak ada pemimpin. Dalam defines Locke, tersirat premis bahwa para pemimpin yang efektif harus mengetahui bagaimana membangkitkan inspirasi dan berelasi dengan para pengikut mereka.
2] Kepemimpinan merupakan suatu proses, artinya proses kepemimpinan lebih dari sekedar menduduki suatu otoritas atau posisi jabatan saja, karena dipandang tidak cukup memadai untuk membuat seseorang menjadi pemimpin, artinya seorang pemimpin harus melakukan sesuatu. Maka menurut Burns [1978], bahwa untuk menjadi pemimpin seseorang harus dapat mengembangkan motivasi pengikut secara terus menerus dan mengubah perilaku mereka menjadi responsive.
3] Kepemimpinan berarti mempengaruhi orang-orang lain untuk mengambil tindakan, artinya seorang pemimpin harus berusaha mempengaruhi pengikutnya dengan berbagai cara, seperti menggunakan otoritas yang terlegitimasi, menciptakan model [menjadi teladan], penetapan sasaran, memberi imbalan dan hukuman, restrukrisasi organisasi, dan mengkomunikasikan sebuah visi. Dengan demikian, seorang pemimpin dapat dipandang efektif apabila dapat membujuk para pengikutnya untuk meninggalkan kepentingan pribadi mereka demi keberhasilan organisasi [Bass, 1995. Locke et.al., 1991., dalam Mochammad Teguh, dkk., 2001:69.
Dari definisi-definisi di atas, paling tidak dapat ditarik kesimpulan yang sama , yaitu masalah kepemimpinan adalah masalah sosial yang di dalamnya terjadi interaksi antara pihak yang memimpin dengan pihak yang dipimpin untuk mencapai tujuan bersama, baik dengan cara mempengaruhi, membujuk, memotivasi dan mengkoordinasi. Dari sini dapat dipahami bahwa tugas utama seorang pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya tidak hanya terbatas pada kemampuannya dalam melaksanakan program-program saja, tetapi lebih dari itu yaitu pemimpin harus mempu melibatkan seluruh lapisan organisasinya, anggotanya atau masyarakatnya untuk ikut berperan aktif sehingga mereka mampu memberikan kontribusi yang posetif dalam usaha mencapai tujuan.

MENULIS DAFTAR PUSTAKA (BIBLIOGRAFI)

URUTAN:
last name, koma, first name, spasi, middle name, koma, tahun penerbitan, titik, judul lengkap buku (tiap permulaan kata dimulai dengan huruf besar dan ditulis miring), titik, tempat penerbitan, titik dua, nama penerbit, titik
PERHATIKAN:
* untuk karangan di dalam buku, majalah, koran, makalah, stensilan (mimeograf); judulnya tidak ditulis dengan huruf miring, tetapi diapit dengan tanda petik (“).
* jika pengarang lebih dari satu orang, nama pengarang kedua dan seterusnya ditulis biasa, dengan urutan: first name, middle name, dan last name.
* jika hendak menyingkat, nama pengarang kedua, ketiga dan seterusnya tidak perlu ditulis semua, cukup diganti dengan et al. (ditulis dengan huruf miring).
* setiap judul buku diketik satu spasi.
* baris kedua dan seterusnya diketik menjorok masuk ke dalam, lebih kurang sepuluh ketukan.
* antara judul buku yang satu dengan judul berikutnya diberi jarak dua spasi.
BUKU DENGAN SATU PENGARANG
Faisal, Sanapiah, 1990. Penelitian Kualitatif: Dasar-dasar dan Aplikasi. Malang: Yayasan Asah Asih Asuh (YA3 Malang).
Jatman, Darmanto, 1996. Perilaku Kelas Menengah Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
BUKU DENGAN DUA PENGARANG
Lincoln, Yvonna S., dan Egon G. Guba, 1984. Naturalistic Inquiry. USA: Sage Publications.
Hakim, Abdul, dan Srikandi Kumadji, 1996. Pengantar Statistika. Surabaya: Citra Media.
BUKU LEBIH DARI DUA PENGARANG
Burns, Tom R., et al., 1988. Manusia, Keputusan, Masyarakat: Teori Dinamika Antara Aktor dan Sistem untuk Ilmuan Sosial. Diterjemahkan oleh Soewono Hadisoemarto. Jakarta: PT Pradnya Paramita.
Howard, Dick, et al., (eds.), 1997. Balanced Development: East Java in The New Order. Diterjemahkan oleh Bambang Sumantri. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
BUKU TERJEMAHAN
Weber, Max, 1947. The Theory of Social and Economic Organization. Diterjemahkan oleh A.M. Henderson dan Talcott Parsons. New York USA: Oxford University Press.
Giddens, Anthony, dan David Held, 1987. Perdebatan Klasik dan Kontemporer Mengenai Kelompok, Kekuasaan dan Konflik. Diterjemahkan oleh Vedi R. Hadiz. Jakarta: CV Rajawali.
BUKU DENGAN SATU EDITOR
Mubyarto, (ed)., 1995. Program IDT dan Pemberdayaan Masyarakat. dan Kehidupan Golongan Berpendapatan Rendah. Bangi Malaysia: Universiti Kebangsaan Malaysia.
Harahap, Sofyan S., (ed.), 2003. Pelajaran dari Krisis Asia. Jakarta: Pustaka Quantum.
Singarimbun, Masri, dan Sofian Effendi, (eds.), 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES.
Oey-Gardiner, Mayling, et al., (eds.), 1996. Perempuan Indonesia: Dulu dan Kini. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
KARANGAN DALAM BUKU
Geertz, Clifford, 1971. “Deep Play: Notes on the Balinese Cockfight”. Dalam Clifford Geertz, (ed.), Myth, Symbol and Culture. New York-USA: W.W. Norton and Company Inc.
Mazumdar, Dipak, 1985. “Sektor Informal di Kota: Analisis Empiris terhadap Data dari Berbagai Negara di Dunia Ketiga”. Dalam Chris Manning, dan Tadjuddin Noer Effendi, (eds.), Urbanisasi, Pengangguran, dan Sektor Informal di Kota. Jakarta: PT Gramedia.
Giddens, Anthony, 1987. “Structuralism, Post-Structuralism and the Production of Culture”. In A. Giddens and J.H. Turner (eds.). Social Theory Today. Stanford, Calif.: Stanford University Press.
KARANGAN DALAM SURAT KABAR
Soedirman, Basofi, 1997. “Riset PT untuk Gerakan Desa Binaan”. Jawa Pos, 21 November 1997.
KARANGAN DALAM MAJALAH
Soetrisno, Loekman, 1984. “Pergeseran dalam Golongan Menengah di Indonesia”. Prisma, No.2, hal.23-29, Februari 1984.
KARANGAN DALAM JURNAL
Marzali, Amri, 1993. “Beberapa Pendekatan dalam Kajian tentang Respon Petani terhadap Tekanan Penduduk di Jawa”. JIIS:Jurnal Ilmu-ilmu Sosial, tanpa nomor, hal.39-51, 1993.
Goode, William J., 1960. “A Theory of Role Strain”. American Sociological Review 25:483-496.
SKRIPSI, TESIS DAN DISERTASI
Swasono, Meutia Farida Hatta, 1974. Generasi Muda Minangkabau di Jakarta: Masalah Identitas Suku Bangsa. Skripsi Sarjana, Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Jakarta.
Hakim, Abdul, 1993. Perbedaan Pola Migrasi dan Tingkat Mobilitas Dilihat dari Faktor-faktor Determinan Integrasi Sosial. Tesis Magister Sains, Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung.
Simuh, 1983. Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita: Suatu Studi terhadap Serat Hidayat Jati. Disertasi Doktor, IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
LAPORAN
Hakim, Abdul, 1994. Migran Cina di Kotamadya Malang. Laporan Penelitian untuk The Toyota Foundation, Malang.
Oey, Mayling dan Ketut S. Astika, 1978. Social and Economic Implication of Transmigration in Indonesia: A Policy-Oriented Review and Synopsis of Existing Research. Laporan Penelitian untuk Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, FE-UI, Universitas Indonesia, Jakarta.
DIPUBLIKASIKAN
Hakim, Abdul, 1992. “Migrasi Interurban Etnik Cina dan Implikasinya terhadap Daerah Tujuan: Suatu Perspektif Sosiologis dalam Pengkajian tentang Penduduk di Indonesia”. Mimeo, makalah disampaikan pada Seminar Nasional Ikatan Sosiologi Indonesia, Bandung, 7-9 Desember 1992.
BROSUR, PAMFLET
Sekretariat Jenderal MPR-RI, 1983. Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Jakarta.
Republik Indonesia, 1979. Rencana Pembangunan Lima Tahun Ketiga 1979/1980-1983/1984. Buku I, Jakarta.
DKI Jaya, Jakarta Tourism Development Board, t.t. Jakarta Show Window of Indonesia, Jakarta.
KEPUTUSAN SEMINAR, KONFERENSI, PROCEEDINGS
Seminar Nasional Kadin, 1980. Dengan Kepres 14-A Menjadi Tuan di Negara Sendiri. Hasil Seminar, 10-12 Juli 1980, Panitia Penyelenggara Kompartemen Pengembangan dan Organisasi, Kadin Indonesia, Jakarta.
Kelompok Studi dan Peminat Statistika Universitas Diponegoro, 1990. Seminar Statistika untuk Pembangunan. Prosiding Seminar, Universitas Diponegoro, 12 Desember 1990.
BUKU TAHUNAN
Departemen Pertambangan RI, 1979. Pertambangan Indonesia 1979. Jakarta.
Bank Dunia, 1984. Laporan Pembangunan Dunia 1983. Diterjemahkan oleh Pandam Guritno, UI-Press, Jakarta.
BERITA DALAM SURAT KABAR
Antara, Kompas, 29 Desember 1983, hal.2, kolom 5-6.
Berita Buana, Tajuk Rencana, 28 Desember 1983, hal.2, kolom 1-2.
UNDANG-UNDANG, PERATURAN, KEPUTUSAN
Direktorat Jenderal Pajak, t.t. Undang-undang Republik Indonesia No.12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan. Jakarta.
Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita, 1977. Petunjuk Penyusunan Perencanaan Pembangunan Berwawasan Kemitrasejajaran dengan Pendekatan Jender. Jakarta.
RUJUKAN ELEKTRONIK
Boon, J., tt. “Anthropology of Religion”. Melalui http://www. indiana.edu/~wanthro/religion.htm [10/05/03].
Kawasaki, Jodee L., and Matt R.Rayeb, 1995. “Computer-Adminisered Surveys in Extension”, Journal of Extension 33 (June) E~Journal on-line. Melalui http://www.jou.org/ june33/95.htm [06/17/00].

Thursday, March 11, 2010

ORGANISASI MERUPAKAN SISTEM TERBUKA


Organisasi Sistem Terbuka


Organisasi adalah sekelompok individu yang berinteraksi untuk mencapai tujuan tertentu dalam suatu sistem kerja yang mempunyai kejelasan dalam pembagian kerja atau peran. Organisasi memilki subsistem yang saling berhubungan dan membutuhkan untuk menguatkan organisasi dalam mencapai tujuan organisasi tersebut. Organisasi merupakan sekumpulan orang yang bekerja bersama dalam suatu divisi untuk mencapai tujuan bersama (Schermerhorn, dkk., 1997:9). Tujuan ini tidak saja untuk organisasi itu sendiri melainkan juga untuk kepentingan masyarakat.
Organisasi sebagai sistem terbuka adalah organisasi yang berinteraksi dengan lingkungan dengan kata lain organisasi yang menerima sesuatu dari suatu sistem dan melepaskannya kepada sistem yang lain. Organisasi merupakan suatu sistem terbuka karena selalu berinteraksi dengan lingkungannya. System terbuka adalah “sistem yang berhubungan dan terpengaruh dengan lingkungan luarnya”. Sistem ini menerima masukan dan menghasilkan keluaran untuk lingkungan luar atau subsistem yang lainnya, sehingga harus memiliki sistem pengendalian yang baik. Lingkungan dapat dilakukan dengan dua arah yaitu organisasi dipenuhi perubahan dan sebaliknya lingkungan dipengaruhi oleh organisai. Adapun lingkungan organisasi terdiri atas lingkungan mikro dan makro. Organisasi sebagai sistem terbuka membutuhkan input dari lingkungan, dan akan menjual produk ke lingkungan sekitarnya. Dalam menganalisis lingkungan, kompleksitas lingkungan perlu diperhatikan. Kompleksitas lingkungan merupakan estimasi besarnya problem dan kesempatan dalam lingkungan organisasi. Kompleksitas ini dipengaruhi oleh  3 faktor, yaitu : tingkat kekayaan, tingkat interdependensi, dan derajat ketidakpastian. 
Kalau sistem organisasi tertutup banyak berpengaruh pada administrasi negara, maka sistem terbuka ini banyak mempunyai pengaruh pada administrasi perusahaan. Walaupun pada akhir-akhir ini banyak perubahan terjadi bahwa administrasi negara pun telah banyak menggunakan sistem terbuka ini. Akan tetapi, pada awalnya sistem terbuka ini banyak mempengaruhi organisasi-organisasi dan administrasi perusahaan. Seperti halnya model tertutup, model terbuka ini pun banyak nama samarannya, misalnya seperti Collegial, competitive, freemarket, informal, natural, dan organic. Demikian pula model sistem terbuka ini dapat dikelompokan dalam tiga aliran (school) seperti misalnya: Aliran Human Relation, Aliran Pengembangan Organisasi (Organizational Development), dan Aliran Organisasi sebagai sesuatu unit yang berfungsi di dalam lingkungannya.
Sistem terbuka sebagaimana ditekankan pada aliran yang ketiga di atas, mengutamakan adanya interaksi hubungan yang berkelangsungan dengan lingkungannya. Dengan demikian, sistem ini akan mencapai suatu tingkat dinamika tertentu atau keseimbangan dinamis. Sementara itu, sistem ini masih mempunyai kemampuan yang berkelanjutan untuk melangsungkan kerja dan melakukan transformasi ke pihak lain. Sistem ini mempunyai proses putaran yang kontinu yang menyebabkan daya hidupnya berkelangsungan. Dan organisasi dipandang sebagai hal yang dinamis yang senantiasa berubah, bukannya sebagai mesin yang gerak operasinnya ajek, rutin, dan statis.
Bahan-bahan masukan yang berasal dari lingkungan, diterima oleh sesuatu organisasi. Kemudian organisasi tersebut memproses sebagai salah satu kegiatannya untuk mencapai tujuan organisasi. Hasil pemrosesan ini dikirim dan diterima oleh lingkungan baik berupa barang-barang atau jasa pelayanan. Hasil ini dirasakan oleh masyarakat sebagai unsur lingkungan dari organisasi tersebut. Dan lingkungan memberikan umpan balik kepada organisasi. Umpan balik ini sebagai bahan masukan baru untuk diolah dan diproses didalam organisasi. Dengan cara demikian organisasi mencapai tingkat keseimbangan yang dinamis dengan lingkungannya. Karena ia dirangsang untuk mendapatkan potensi baru guna melanjutkan kelangsungan hidupnya.
Dalam pengertian yang umum, sistem terbuka ini lebih menekankan saling hubungan dan saling ketergantungan antara unsur-unsur oranisasi yang bersifat sosial dan teknologi. Organisasi dipertimbangkan sebagai serangkaian variabel yang saling berhubungan, di dalam hal-hal tertentu berubahnya satu variabel akan menyebabkan berubahnya variabel lainnya. Sistem sosial termasuk didalam organisasi formal diperlakukan sebagai suatu sistem yang terbuka, karena sistem ini secara terus-menerus melakukan transaksi dengan lingkungan luarnya. Selain itu, secara mutlak sistem ini sangat tergantung dengan faktor sekelilinganya didalam usaha mendapatkan sumber-sumber yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidupnya. Sistem organisasi terbuka seperti ini tidak hanya terbuka bagi lingkungannya saja, akan tetapi terbuka pula bagi dirinya sendiri. Itulah sebabnya Buckly menyebutnya sistem terbuka ini menyesuaikan pada lingkungannya dengan cara melakukan perubahan-perubahan susunan dan proses dari  komponen-komponen di dalam organisasi itu sendiri.
Karakteristik dari sitem terbuka ini menurut Burns dan Stalker merupakan kebalikan dari 12 butir karakteristik dari sistem tertutup. Seperti misalnya:
1)      Tugas-tugas yang tidak rutin berlangsung dalam kondisi-kondisi yang tidak stabil.
2)      Pengetahuan spesialisasi menyebar pada tugas-tugas pada umumnya. Berbeda dengan sistem tertutup bahwa pemahaman dari spesialisasi tugas itu pengetahuan spesialisasinya dimiliki oleh masing-masing orang yang barang kali hanya bisa dipergunakam jika menguntungkan orang tersebut untuk mengatasi  berbagai tugas organisasi.
3)      Hasil (atau apa yang bisa dikerjakan) diutamakan
4)      Konflik di dalam organisasi diselesaikan dengan interaksi diantara teman sejawat.
5)      Pencairan pertanggungjawaban ditekankan. Dalam hal ini tugas-tugas yang bersifat formal dikesampingkan untuk melibatkan semua anggota didalam memecahkan persoalan-persoalan organisasi.
6)      Rasa pertanggungjawaban yang loyalitas seseorang adalah pada organisasi secara keseluruhan, tidak hanya pada subunit organisasi yang telah dibebankan kepada seseorang pejabat.
7)      Organisasi dipandang sebagai struktur network yang merembes (fluiding network structure) (dalam hal ini organisasi dilihat sebagai amoeba).
8)      Pengetahuan atau informasi dapat berada dimana saja di dalam organisasi (misalnya, setiap orang mengetahui sesuatu yang bergayutan dengan organisasinya. Tidak semua orang termasuk kepala atau pimpinan dapat mengetahui semua hal).
9)      Interaksi di antara orang-orang di dalam organisasi cenderung bergerak secara horizontal, selancar geraknya interaksi vertikal.
10)  Gaya interaksi yang diarahkan untuk mencapai tujuan lebih berifat pemberian saran disbandingkan dengan pemberian instruksi, dan disifati dengan mitos setia kawan dengan mengesampingkan hubungan antara atasan-bawahan.
11)  Hasil tugas dan pelaksanaan kerja yang baik diutamakan, bukannya menekankan pada loyalitas dan kepatuhan pada seseorang atasan.
12)  Prestise ditentukan dari pihak luar (externalized) misalnya kedudukan atau status seseorang di dalam organisasi sangat ditentukan oleh kemampuan professional dan reputasi seseorang.
Karakteristik ini seperti halnya karakteristik system tertutup merupakan tipe yang ideal bagi sesuatu system organisasi. Pemahaman lebih lanjut dari sistem terbuka ini seperti yang dikatakan oleh Nigro dan Nigro: “kerangka dasar sistem ini memulai dari preposisi teori bahwa semua organisasi-organisasi sosial memberikan peranan tertentu terhadap karakteristik system ini”. Adapun karakteristik sistem terbuka menurut Nigro sebagai berikut:
1)      Secara ajek system terbuka ini mencari dan memerlukan sumber-sumber (inputs) dalam bentuk material dan kemanusiaan.
2)      Organisasi mentransformasikan inputs dalam bentuk hasil-hasi seperti barang-barang dan jasa pelayanan melalui proses teknologi dan sosial. Proses ini sering kali dinamakan throughput.
3)      Sistem terbuka mengirimkan hasil produksinya ke pihak luar yakni lingkungannya, dan hasil-hasilnya tersebut biasanya merupakan bahan masukan bagi organisasi kelompok-kelompok dan atau individu-individu lainnya.
4)      Stuktur oganisai dikembangkan disekitar aktivitas-aktivitas yang telah mempola dalam bentuk yang ajek yakni dalam putaran input, throughput, dan output.
5)      Organisasi hidup dan menolak disorganisasi misalnya entropi, dengan mengembangkan suatu mekanisme yang beragam untuk meneliti, menyimpan, dan mengalokasikam sumber-sumber yang langka secara efisien.
6)      Umpan balik, dalam bentuk informasi mengenai keadaan lingkungannya, pelaksanaan organisasi, dan aktivitas-aktivitas ke dalam, membuat system terbuka memperhatikan tujuan-tujuan organisasi dengan mengontrol aktivitas-aktivitas baik di dalam ataupun di luar organisasi.
7)      Sistem terbuka menginginkan adanya keseimbangan dan kestabilan antara faktor-faktor di dalam ataupun di luar organisasi. Dan keseimbangan tersebut dicapai lewat adaptasi terhadap perubahan-perubahan lingkungan yang signifikan.
8)      Setiap waktu, pengembangan structural dan spesialisasi tugas merupakan jawaban-jawaban umum yang sistematik dalam rangka mencari sumber-sumber dan adaptasi. Dan struktur-struktur koordinasi dan pengendalian dalam manajemen merupakan hal yang amat penting.

Kelemahan organisasi terbuka
Organisasi dengan sistem terbuka menerima masukan tertentu, seperti bahan baku, informasi, tenaga kerja, dan peralatan. Di sisi lain organisasi juga menghasilkan produk yang dilepas, disalurkan dan diterima oleh sistem lain. Proses ini berlangsung terus menerus tanpa ada hentinya. Jika suatu organisasi gagal memperoleh masukan yang diperlukan dari sistem lain dan jika keluarannya tidak diserap atau ditolak sistem lain maka, organisasi lama-kelamaan akan hilang eksistensinya. Hal ini yang kemudian membuat suatu organisasi atau industri bubar atau bangkrut.


DAFTAR PUSTAKA
Thoha, Miftah. 2008. Ilmu Administrasi Publik Kontemporer. Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Beberapa Teori Tentang Manajemen Publik


Meskipun perubahan selera bisa mempengaruhi semua bidang teori dan aplikasi, tidak ada pendekatan lain terhadap administrasi publik yang lebih terkenal selain manajemen. Kelahiran bidang modern muncul bersamaan dengan popularitas manajemen ilmiah dari Frederick W. Taylor, dengan aplikasi studi time-and-motion untuk aktivitas publik, dan upaya pencarian satu cara terbaik. Seperti “manajemen kualitas total” di tahun 1980-an dan logika perbaikan berkelanjutan sekarang ini, manajemen ilmiah dipinjam dari administrasi bisnis di awal abad 20 dan diterapkan dalam administrasi publik dan pemerintah.
          Seiring waktu, dalam pemerintah, banyak hal yang bisa dipahami ketika manajemen ilmiah terpisah dari subyek manajemen yang lebih umum, dan khususnya manajemen fungsi staff, anggaran dan personel, dan menjadi akar penelitian dari bidang operasi modern. Dengan setengah perancangan dan setengah administrasi bisnis, penelitian operasi adalah sebuah aplikasi sukses kekuatan matematika dan perhitungan pada sebuah masalah manajemen bisnis klasik seperti penjadwalan; penentuan harga; kontrol kualitas; efisiensi dalam proses produksi; dan pengiriman, gudang, dan inventaris produk. Penelitian operasi adalah penting dalam sektor publik, khususnya dalam organisasi publik yang teknik tersebut bisa berguna lebih jauh, seperti: perencanaan dan pengembangan sistem senjata; sistem jalan raya dan transportasi; sistem manajemen air dan limbah; sistem pembangkit listrik tenaga nuklir; sistem kontrol lalu lintas udara; dan tugas manajemen skala-besar seperti return pajak dan catatan Internal Revenue Service dan manajemen Social Security, Medicare, dan sistem Medicaid.
          Dalam teori kontemporer, aplikasi teori penelitian operasi seringkali ditemukan dalam setting yang digambarkan sebagai sistem terpadu yang mana mesin, peralatan, atau teknologi dipasangkan dengan manajemen manusia. Literatur teoritis tentang sistem dengan reliabilitas tinggi, yang dijelaskan di Bab 4, seringkali menjadi sebuah aplikasi penelitian operasi dan konsep manajemen ilmiah (LaPorte dan Consolini, 1991).
          Fitur awal dari administrasi publik Amerika – sebuah jasa sipil berbasis pengabdian, pemisahan administrasi dari politik, “prinsip” administrasi, administrasi sebagai bagian dari pemerintah eksekutif, dan aplikasi manajemen ilmiah – ini memperlihatkan bahwa teori dan logika manajemen ilmiah adalah yang paling berpengaruh dan bertahan lama. Teori dan logika manajemen ilmiah begitu persuasif di banyak wilayah pemerintah dan sektor publik terkaitnya, dan karena itu, tidak jelas terlihat di mata masyarakat awam; ini hanya terlihat menonjol ketika sebuah sistem yang berisi teori dan logika tersebut dipisahkan. Ketika sebuah pesawat jatuh dari langit, seorang anak mati karena bakteria e-coli, atau seorang tentara tewas karena “tembakan teman”, warga negara dan pimpinan terpilih “akan merujuk” pada sistem publik kompleks yang dibuat dan dijalankan berdasar asumsi manajemen ilmiah. Ketika orang melihat “pesawat” jatuh dari langit, mereka seringkali tidak bisa melihat bahwa pada jam 5 sore, pada waktu kerja di sore hari di United States, lebih dari 300.000 orang berdoa untuk keselamatannya dalam perjalanan udara dengan kecepatan lima ratus mil per jam. Dengan berbagai perhitungan, ini adalah sebuah keajaiban manajemen ilmiah yang menggabungkan teknologi, perusahaan privat, dan kontrol dan manajemen pemerintah. Semua pasti setuju bahwa ketika perjalanan udara meningkat, sistem harus dibuat lebih aman (Perrow, 1999). Bagaimanapun gambarannya – satu cara terbaik, manajemen kualitas total (TQM), organisasi kinerja-tinggi, atau peningkatan berkelanjutan – warisan manajemen ilmiah terasa kental.
          Di awal tahun dari administrasi publik modern, teori manajemen ilmiah dan aplikasinya paling sering ditemukan dalam bidang pekerjaan publik, yang menjadi sepupu dekat dari administrasi publik. Sampai pada tahun 1960-an, American Society of Public Administrators, American Public Works Association, dan International City/County Management Association menggunakan kantor pusat yang sama di kampus Universitas Chicago. Teks orisinil Leonard White berisi sebuah bab tentang administrasi pekerjaan publik, dan banyak publikasi awal dari International City/County Management Association adalah tentang pekerjaan publik (1929). Secara bertahap, dua bidang ini berjalan terpisah, yang mana insinyur selalu dikaitkan dengan pekerjaan publik dan teknik manajemen ilmiah, sedangkan administratur publik dikenal sebagai fungsi staff dari pemerintah seperti penganggaran dan administrasi personel dan lebih tertarik dengan manajemen. Dalam literatur dan akademis – buku diktat dan jurnal – pekerjaan publik dan administrasi publik, dengan beberapa perkecualian, hampir sangat terpisah (Felbingber dan Whitehead, 1991a, 1991b). Dalam prakteknya, meski begitu, setiap county memiliki departemen pekerjaan publik, setiap daerah memiliki sistem manajemen data ekstensif untuk penilaian properti, setiap negara bagian memiliki sistem manajemen data jasa sosial ataupun sistem jalan raya dan transportasi lainnya, dan pemerintah nasional memiliki spesialis penelitian operasi perancangan dan sistem dalam berbagai tipe. Dalam prakteknya, manajemen ilmiah masih tetap menjadi bagian dari administrasi publik.
          Teori manajemen ilmiah, berawal dari pemikiran Taylor dan dalam ukuran TQM modern, adalah kerabat dari teori keputusan. Tujuan dan karakteristik dari teori keputusan adalah definisi masalah dan pemecahan masalah – bagaimana mengontrol lalulintas udara, bagaimana mengoperasikan sistem limbah sehat dan pengolahannya secara efisien. Model teori keputusan yang maju berisi ambiguitas tujuan, batasan resource, informasi yang tidak lengkap, dan kepuasan. Topik ini dibahas di Bab 7. Teori manajemen memiliki banyak elemen pemecahan masalah, tapi ini biasa dikaitkan dengan studi dan deskripsi arahan aktivitas rutin dalam organisasi.
          Dengan pemisahan pekerjaan publik dari administrasi publik dan penentangan Simon terhadap “prinsip” tersebut di tahun 1950-an, dan emphasis pada analisis kebijakan dan pembuatan kebijakan di tahun 1930-an dan 1990-an, subyek manajemen mulai melemah dan masuk ke dalam naungan administrasi publik. Sedikit sekali perhatian ke arah itu. Pada tahun 1960-an dan 1970-an, ada beberapa kepentingan dalam administrasi umum, yang berarti bahwa manajemen adalah manajemen apapun prakteknya; beberapa sekolah bisnis umum dan administrasi publik dibuat dengan kekuatan logika ini (Cornell, California di Irvine, California di Riverside, negara bagian Ohio, Missouri di Columbia, dan Kansas City, Brigham Young University, Yale) (Litchfield, 1956). Sebagian besar sekolah umum tersebut sekarang ini telah bubar atau menjadi sejumlah departemen kecil dan otonom yang terpisah dalam administrasi publik di sekolah bisnis besar. Sekolah umum tersebut tidak memberikan efek bagi praktek atau teori administrasi publik aktual.
          Tahun 1960-an dan 1970-an juga memperlihatkan beberapa ketertarikan – khususnya dalam administrasi publik baru – dalam teori administrasi demokratik, termasuk hirarki datar, pekerja mandiri, manajemen proyek, organisasi matrik, dan penghapusan persaingan sebagai insentif untuk kerja (Marini, 1971; Frederickson, 1980). Teori ini memberikan efek terhadap praktek dan umumnya ditemukan dalam model kontemporer “manajemen publik yang baik”.
          Teori ekuitas sosial yang ditemukan dalam administrasi publik baru di tahun 1960-an dan 1970-an juga memiliki daya tahan yang lama. Ini muncul seiring dengan pertimbangan keadilan dalam tempat kerja, peluang pekerjaan yang sama, tindakan afirmatif, dan nilai yang setara. Banyak konsep ini menjadi aturan; organisasi dan prosedur yang menggunakan nilai ini bermunculan, dan ekuitas sosial sekarang ini telah banyak dipraktekkan. Dalam menilai efek aspek ekuitas sosial dalam administrasi publik baru, Shafritz dan Russell (1997) menuliskan:
Dari tahun 1970-an sampai sekarang, dihasilkan sejumlah paper konferensi dan artikel akademisi yang membuat administrator publik untuk memperlihatkan sensitivitas yang lebih besar terhadap kekuatan perubahan, kebutuhan klien, dan masalah ekuitas sosial dalam pemberian jasa. Ini memberikan sebuah efek positif bahwa perlakuan warga negara yang beretika dan setara oleh administrator menjadi pertimbangan terdepan dalam lembaga publik. Dengan dipertegas oleh sikap publik yang berubah, gerakan pemerintah yang muncul kembali, dan hukum hak sipil, administrasi publik baru mencapai puncaknya dalam waktu seperempat abad. Sekarang ini, tidak akan ada pikiran (dianggap ilegal), contohnya, menolak keuntungan kesejahteraan seseorang karena rasnya atau menolak peluang kerja karena kelaminnya. Ekuitas sosial sekarang ini tidak perlu diperjuangkan lagi oleh radikal muda, karena sudah ditangani oleh manajer di sepanjang masa.
Dari tahun 1950-an sampai 1970-an, dengan perkecualian pada kepentingan dalam fungsi penganggaran dan staff personel, argumen tentang New Public Administration, dan kepentingan dalam “manajemen dengan target”, administrasi publik akademis kurang memperhatikan praktek manajemen dalam administrasi publik.
          Berawal di pertengahan 1980-an, subyek manajemen kembali ke administrasi publik dengan sebuah dendam, baik teori dan praktek.
          Ini bisa dipahami karena aplikasi paling nyata dari teori manajemen dalam administrasi publik adalah pada penelitian operasi dan pekerjaan publik, dan bahwa aplikasi ini bisa digambarkan sebagai teori keputusan, dan untuk itu, kita beralih kepada teori modern dari manajemen publik. Tidak seperti teori keputusan, teori ini bukanlah memecahkan masalah, tapi menjadi deskripsi perilaku manajemen atau pedoman preskriptif untuk perbaikan manajemen dalam pekerjaan rutin organisasi.
          Dalam teori administrasi publik, gabungan subyek manajemen dan organisasi adalah umum dan ini diperlakukan sebagai yang terkait atau sesuatu yang sama. Kebiasaan semacam ini menghasilkan kebingungan konseptual dan teoritik. Contohnya, desentralisasi seringkali digambarkan sebagai phenomena manajemen, meskipun umumnya banyak kalangan menyatakan bahwa aspek sentralisasi dan desentralisasi adalah phenomena organisasi atau struktur. Untuk mengurangi kerumitannya dan mempertajam sudut pandang teoritiknya, kita menguraikan teori manajemen dan organisasi dan menggunakannya secara terpisah. Manajemen publik diartikan sebagai proses formal dan informal untuk mengarahkan interaksi manusia menuju target organisasi publik. Unit analisisnya adalah proses interaksi antara manajer dan pekerja dan efek perilaku manusia terhadap pekerja dan hasil kerja. Tujuan dari bab ini adalah menggambarkan dan mengevaluasi teori, baik secara empirik atau deduktif, yang mempertimbangkan atau menjelaskan perilaku manajemen publik.
          Teori organisasi publik, sebaliknya, berkaitan dengan desain dan evolusi tatanan struktur untuk pelaksanaan administrasi publik dan dengan deskripsi atau teori perilaku organisasi sebagai unit analisis. Meskipun memisahkan manajemen dan organisasi untuk perbaikan konseptual dan teoritik menghasilkan keuntungan, kita tidak berhenti sampai kesimpulan bahwa manajemen dan organisasi adalah berbeda dalam makna empirik. Ini bukan berbeda; manajemen selalu terjadi dalam konteks orgnaisasi, dan organisasi jarang menjadi efektif tanpa manajemen. Karena itu, dalam bab penutup, manajemen dan organisasi diikatkan kembali, karena keduanya berada dalam dunia empirik, dan teori hubungan dipertegas di sini.
          Teori manajemen publik digambarkan dalam empat kategori: Pertama, dan paling penting, adalah teori manajemen publik tradisional, atau kepercayaan terhadap itu; kedua adalah popularitas leadership sebagai manajemen publik; ketiga adalah teori yang dihasilkan dari praktek panjang pelaksanaan manajemen publik lewat kontrak; keempat adalah teori governance yang menjelaskan fitur penting dari manajemen publik.

Mempercayai Teori Manajemen Tradisional
Teori manajemen tradisional berawal dari Frederick W. Taylor dan tulisannya The Principles of Scientific Management, yang dipublikasikan pada tahun 1911 dan masih bisa dicetak (1985). Subyeknya adalah bisnis, dan khususnya shop. Tujuannya adalah bergerak dari aturan pokok, kebiasaan dan tradisi, dan pendekatan ad hoc terhadap manajemen bisnis untuk menghasilkan prinsip ilmiah. Prinsipnya didasarkan pada pengukuran proses kerja, ataupun hasilnya; pada pemilihan pekerja ilmiah; pada penempatan pekerja secara optimal dalam deskripsi peran kerja; pada pembagian dan sekuensi proses kerja dan akan meningkatkan produktivitas; dan pada kerjasama pekerja dalam mencapai target organisasi. Aplikasi prinsip ini, menurut Taylor, membuat manajer dan pekerja menuju pada satu cara terbaik.
          Seperti yang dilakukan inovasi bisnis, konsep ini dengan cepat merasuki pemerintah. Konsep tersebut menjadi bagian sentral dari era progresif dan gerakan untuk mereformasi pemerintah, dan ini sangat berpengaruh dalam pengembangan sistem jasa sipil dalam pemerintah di semua level. Penggunaan luas sarana ujian untuk penggajian dan promosi, deskripsi posisi, dan evaluasi pegawai adalah refleksi dari manajemen ilmiah. Sehingga dapat dikatakan bahwa ujian di masa modern untuk kemajuan di sekolah, rujukan ke universitas dan sekolah sarjana, dan untuk posisi profesional dalam hukum, kedokteran, akuntansi, pengajaran, dan sebagainya, juga menjadi manifestasi kontemporer dari logika manajemen ilmiah. Keinginan akan ketentuan, untuk mengukur secara tepat, dan karena itu menata dan mengkategorikan dunia secara tepat, dan juga merasakannya, tidak diragukan lagi menjadi sebuah titik kuat dari manajemen ilmiah.
          Luther Gulick, yang menjadi salahsatu pendiri administrasi publik modern, menggunakan ortodoksi manajemen ilmiah, yang diterapkan pada pemerintah, dan memperkenalkan mnemonik yang paling terkenal di bidang tersebut – POSDCORB, yang merepresentasikan teori dari tujuh fungsi utama manajemen:
·      Perencanaan (Planning)
·      Pengorganisasian (Organizing)
·      Staff (Staffing)
·      Arahan (Directing)
·      Koordinasi (Coordinating)
·      Pelaporan (Reporting)
·      Penganggaran (1937)
Sampai pertengahan hingga akhir 1950-an, berbagai perlakuan manajemen dalam administrasi publik adalah sebuah tindak lanjut dari POSDCORB. Dengan seringkali digabungkan dengan teori skalar, atau hirarkis, dari organisasi, prinsip manajemen ini memiliki sebuah kualitas umum yang muncul dalam praktek administrasi publik ataupun di studi lapangan atau dalam persiapan untuk praktek. Kritikisme awal mengatakan bahwa prinsip tersebut adalah top-down, preskriptif, dan tidak memperhatikan bentuk alami dari kerjasama – tapi kritikisme tersebut menjadi inti dari bidang tersebut.
          Dari 1930-an sampai 1950-an, modifikasi dan adaptasi penting dilakukan pada prinsip manajemen ilmiah. Chester Barnard menemukan dan menentukan teori tentang otoritas, yang menyatakan bahwa otoritas tidak didasarkan banyak pada orang otoritas atau menyatakan otoritas sebagai yang didasarkan pada kemauan pihak lain untuk menerima atau mematuhi arahan atau perintah (1938).
          Dalam teori klasik, dikatakan di sini bahwa kebijakan, instruksi, arahan, dan otoritas mengalir ke hirarki rendah, dan komunikasi (apa yang disebut feedback) mengalir ke atas. Barnard menunjukkan bahwa kekuatan berkumpul di dasar hirarki, dan bahwa teori manajemen efektif perlu dimodifikasi untuk menjelaskan budaya kerja dalam sebuah organisasi, preferensi dan sikap pekerja, dan bilamana ada persetujuan antara kebutuhan dan kepentingan pekerja dan kebijakan dan arahan manajemen. Dia menggambarkan “fungsi eksekutif” sebagai yang kurang berkaitan dengan prinsip formal dari administrasi dan lebih berhubungan dengan kerjasama pekerja lewat komnikasi yang efektif, lewat partispasi pekerja dalam keputusan produksi, dan lewat pertimbangan kepentingan pekerja. Dalam hal ini, otoritas didelegasikan ke atas daripada ke bawah.
          Hawthorne Studies menggambarkan efek Hawthorne, yang menyatakan produktivitas pekerja sebagai fungsi perhatian pengamat bukan faktor fisik atau kontekstual. Interpretasi efek Hawthorne ini menunjukkan bahwa perhatian dari pengamat masih terlalu sederhana, dan bahwa dalam eksperimen pekerja melihat perubahan bentuk pengawasan seperti yang diinginkan dan yang meningkatkan produktivitas. (Greenwood dan Wrege, 1986). Hawthorne Experiments dan pekerjaan Barnard memperkenalkan sebuah pendekatan hubungan manusia yang merubah teori manajemen. Prinsip klasik manajemen ilmiah dan struktur hirarki formal ditentang oleh pikiran hubungan manusia dalam teori manajemen, yang menjadi teori yang dipengaruhi oleh Douglas McGregor. Teori X dan Teori Y McGregor merepresentasikan sebuah perubahan penting dalam teori manajemen (1960). Di sini ada sejumlah asumsi berlawanan untuk Teori X dan Teori Y.

ASUMSI TEORI X
1.    Orang rata-rata tidak menyukai pekerjaan dan mencoba menghindarinya.
2.    Sebagian besar orang perlu dipaksa, dikontrol, diarahkan; dan diancam dengan hukuman untuk membuatnya bekerja untuk tujuan organisasi.
3.    Orang rata-rata ingin diarahkan, menghindari tanggungjawab, memiliki ambisi kecil, dan mencari keamanan.

ASUMSI TEORI Y
1.    Sebagian besar orang tidak membenci pekerjaannya; upaya fisik dan mental yang terlibat adalah alami seperti bermain atau istirahat.
2.    Orang melakukan arahan-sendiri dan kontrol-sendiri untuk mencapai tujuan yang diinginkannya; kontrol eksternal dan ancaman hukuman bukan satu-satunya sarana untuk menghasilkan upaya mencapai tujuan.
3.    Komitmen pada tujuan adalah sebuah fungsi reward, khususnya reward yang memuaskan harga diri dan kebutuhan aktualisasi-diri.
4.    Ketika kondisinya mendukung, orang rata-rata belajar bukan hanya untuk menerima tapi juga mencari tanggungjawab.
5.    Banyak orang memiliki kapasitas untuk memiliki kadar kreativitas tinggi dan inovasi dalam memecahkan masalah organisasi.
6.    Potensi intelektual dari sebagian besar individu hanya digunakan sebagian dalam sebagian besar organisasi.

Dari asumsi ini, manajer Teori X menitikberatkan pada kontrol dan pengawasan yang rumit, dan memotivasi dengan insentif ekonomi. Manajer Teori Y berupaya memadukan tujuan individu dan organisasi dan menekankan pada kinerja tugas; berupaya membuat pekerjaan menjadi menarik dan karena itu mendorong kreativitas.
          Penting untuk menegaskan bahwa upaya Chester Barnard, Hawthorne Experiments, dan Douglas McGregor adalah tentang perilaku, atau dikatakan bahwa ini didasarkan pada penelitian lapangan. Upaya sebelumnya dari Taylor dan lainnya, meski ini disebut manajemen ilmiah, adalah sedikitnya hasil observasi non-sistematik dan kebanyakan sebagai hasil logika deduktif.
          Satu pendekatan penting dan berbeda bagi teori manajemen dalam evolusi administrasi publik adalah sosiologi Max Weber, yang melabeli studi formal tentang organisasi kompleks skala-besar sebagai birokrasi (1952). Meskipun upaya ini dilakukan pada tahun 1930-an dan 1940-an, secara umum ini tidak terkenal di Amerika sampai setelah Perang Dunia II. Tujuan Weber adalah menggambarkan karakteristik ketahanan organisasi skala-besar, yang diberi label “tipe ideal”, atau makna ideal yang sering ditemukan atau yang menjadi karakteristik umum. Dia tertarik pada rasionalitas, atau perilaku berorientasi tujuan kolektif, seperti dalam organisasi rasional. Dia melawan karakteristik perbedaan kelas di Eropa di awal abad 20 dan menentang nepotisme dan kebusukan yang dihasilkan. Dia mengatakan bahwa birokrasi rasional menjalankan sebuah spesialisasi kerja. Pekerjaan dibagi menjadi tugas rutin dengan definisi jelas sehingga pekerja dapat menyempurnakan tugasnya dan sehingga pelamar kerja dapat diuji dalam area spesifik untuk memenuhi kualifikasi formalnya. Dia menggambarkan karakteristik aturan formal, prosedur, dan pencatatan dalam birokrasi ataupun karakteristik skalar atau hirarkisnya. Birokrasi, menurutnya, bersifat impersonal dan rasional karena seleksi individu dan promosi didasarkan pada pengabdian, yang ditentukan secara ilmiah.
          Birokrasi Weber terkesan lebih populer dalam akademisi daripada praktisioner, dan ini adalah sebuah teori manajemen yang menggambarkan apa yang disebutnya sebagai karakteristik yang sering ditemukan dalam organisasi besar dan kompleks yang bertahan lama. Kritik terhadap upaya Weber juga menonjol. Tipe birokrasi ideal cenderung inersia, menolak perubahan, bersifat mekanistik daripada humanistik, mengalami pergantian tujuan dan ketidakmampuan untuk berlatih. Birokrasi, di masa sekarang, menjadi obyek sebuah keputusan politik yang menyalahkan masalah pemerintahan yang terkait orang dan organisasi yang menjalankan program publik. Dan birokrasi adalah sebuah anak yang merengek untuk meminta akademisi dan konsultan yang berupaya membuat program publik menjadi lebih efektif. Apapun semua kritikismenya, Max Weber dikenal telah menghasilkan salahsatu dari deskripsi akurat dan universal yang paling empirik dari organisasi kompleks skala-besar pada masanya, yaitu sebuah deskripsi yang seringkali akurat untuk sekarang ini.
          Tidak ada kritikisme pada prinsip administrasi publik yang tajam seperti kritik Herbert Simon. Dia menunjukkan bahwa prinsip administrasi publik adalah kontradiksi, kecil kemungkinan untuk digeneralisasikan sebagai teori, dan cenderung rumit dan tidak tepat. Untuk menggantikan prinsip manajemen, seperti yang diinginkan dari teorinya, dia mengembangkan apa yang nantinya menjadi teori keputusan. Teori keputusan memiliki pengaruh terhadap administrasi publik, kebanyakan pengaruh baik. Tapi, dibuangnya prinsip manajemen seperti layaknya straw man bukanlah hal penting dalam teori keputusan dan maksudnya. Prinsip manajemen menghilang setidaknya dalam makna teoritik.
          Dari akhir 1950-an sampai pertengahan-1980-an, upaya teoritik yang sedikit serius dilakukan tentang manajemen dalam administrasi publik. Subyek secara bertahap menghilang dalam teks ataupun dalam halaman Public Administration Review. Ironinya adalah bahwa manajemen tetap menjadi inti dari praktek administrasi publik. Buruknya adalah bahwa selama periode tersebut, semakin luas jarak antara teori dan akademisi administrasi publik dan praktek administrasi publik.
          Selama periode ini, untungnya, kepentingan kuat dalam teori manajemen pada sosiologi, psikologi sosial, dan administrasi bisnis tetap berlanjut. Banyak dari upaya ini disebut teori kisaran-menengah, khususnya teori kelompok, teori peran, dan teori komunikasi.

Teori Kelompok
Teori kelompok adalah teori organisasi, bukan teori manajemen, tapi teori kelompok memiliki implikasi penting bagi manajemen publik. Sebagian besar implikasi ini berkaitan dengan perbedaan pendekatan kepada kontrol manajerial. Dalam teori manajemen klasik, kontrol dijalankan oleh kebijakan, aturan, regulasi, dan pengawasan. Dalam teori kelompok, kelompok efektif bisa menghasilkan tujuan dan nilai, norma perilaku, kebiasaan dan tradisi (Homans, 1950; Shaw, 1981). Manajemen efektif dalam konteks teori kelompok mempertahankan, mengolah, dan mendukung tujuan dan norma kelompok yang sebanding dan mendukung tujuan dan misi institusional. Ini adalah sebuah perbandingan bentuk tradisional dari bentuk manajerial dan bentuk kontrol yang didasarkan pada teori kelompok.

TABEL 5.1. Membandingkan Teori Tradisional Dan Kelompok Tentang Kontrol Manajemen
Karakteristik
Kontrol Manajerial
Kontrol Kelompok
Sarana kontrol
Kebijakan, aturan, regulasi, pengawasan
Persamaan tujuan, nilai, dan tradisi
Sumber kontrol
Mekanisme eksternal
Motivasi internal
Desain posisi
Subtask sempit; melakukan daripada berpikir
Tugas keseluruhan; melakukan dan berpikir
Definisi tugas
Tetap
Fleksibel, kontingensi
Akuntabilitas
Individu
Seringkali dalam kelompok
Struktur
Tinggi, top-down
Datar; pengaruh mutual berlapis
Kekuasaan
Emphasis pada otoritas legitimate
Emphasis pada informasi relevan dan kemahiran
Tanggungjawab
Menjalankan tugas individu
Kinerja unit kerja atau kelompok
Reward
Ekstrinsik
Intrinsik
Inovasi
Kecil kemungkinan
Besar kemungkinan
Reaksi pegawai terhadap manajemen
Kepatuhan
Komitmen

Sebagian besar aspek teori kelompok sekarang ini berada di dalam literatur manajemen publik, dan banyak manajer publik berupaya mengembangkan sejumlah tujuan kelompok, motivasi, dan komitmen yang mendukung tujuan institusional publik. Penelitian John Di-Iulio tentang karakteristik dan manajemen Federal Bureau of Prisons (BOP) menunjukkan kekuatan teori kelompok dalam administrasi publik (1994). Dalam upaya memperhitungkan perilaku pegawai dari Bureau of Prisons, DiIulio menemukan bahwa teori principal-agent dan teori pilihan rasional sudah melemah. Dia beralih ke versi teori kelompok yang kadangkala disebut sebagai organisasi budaya-kuat, yang digabungkan dengan teori leadership, dalam menjelaskan perilaku BOP:
Teori pilihan rasional dalam birokrasi bukannya menjelaskan ataupun membantu. Imbasnya, pakar teori pilihan rasional birokrasi adalah golongan Barnard yang setengah matang. Dengan pendapat Chester Barnad, mereka memahami bahwa organisasi adalah sarana untuk memperkuat dan mempertahankan kerjasama antar individu yang berkepentingan yang memiliki keyakinan berbeda, motivasi berbeda, dan tujuan yang berlawanan. Dari situ, mereka mengetahui bahwa individu selalu menjadi faktor dasar dalam organisasi, bahwa “fungsi eksekutif” adalah membuat pekerja yang berkepentingan untuk bekerjasama dalam cara yang memicu, daripada merumitkan, pencapaian tujuan organisasi, dan bahwa uang dan kebaikan terukur lainnya seringkali menjadi dorongan potensial.
Tapi pakar teori pilihan rasional tidak memperhatikan setengah bagian dari Barnard. Mereka mengabaikan kepentingan dari apa yang disebut Barnard sebagai “faktor moral”. Dengan kata lain, mereka mengabaikan kejutan sentimen sosial dan mengurangi kedudukan keunggulan motivasi moral menjadi realita perilaku yang rendah dan terlantar.
Sebagai kesimpulannya, pakar teori pilihan rasional birokrasi meremehkan kecenderungan orang untuk mendefinisikan kepentingan dirinya menurut preferensi pimpinan yang dihormatinya, keberadaan rekan kerja yang dipedulikannya, dan ketahanan dan reputasi organisasi tempat dimana mereka bekerja. Bisa dikatakan bahwa dalam sebagian besar kondisi, sebagian besar birokrat, khususnya dalam pemerintah, mengikuti definisi sempit dari kepentingan pribadi. Tapi ini bukanlah cerita keseluruhan ataupun bagian dari cerita yang dilakukan pejabat publik setiap hari – seperti petugas koreksi, pemadam kebakaran, petugas polisi, pegawai kesehatan masyarakat, pekerja sosial, dan lainnya. Bahkan dalam lembaga pemerintah, ada pengorbanan diri yang lebih banyak, dan kepentingan sendiri yang lebih rendah, daripada yang dikatakan teori pilihan rasional. Untuk BOP dan birokrasi pemerintah lainnya, maka orang Amerika perlu dan seharusnya bangga dan berterimakasih terhadapnya.

Teori Peran
Pakar psikologi sosial cenderung mendefinisikan semua organisasi manusia sebagai sistem peran. Dalam melihat tindakan organisasi, kita bisa melihat bahwa apa yang diorganisasikan sebenarnya adalah tindakan individu dalam posisi atau kantor tertentu. Dalam teori peran, setiap kantor atau posisi dianggap relasional; tepatnya, setiap kantor didefinisikan menurut hubungannya dengan kantor lain dan dengan organisasi secara keseluruhan, dan seringkali dengan tujuan organisasi. Orang dalam peran tersebut menunjukkan fitur perilaku yang ada, seperti perilaku superintendent sekolah, sipir penjara, atau pekerja data entry. Pakar teori peran mengamati dan mengukur pola perilaku orang dalam peran umum; mereka mempelajari hubungan antara orang dalam peran tertentu, baik di dalam dan di luar organisasi. Setiap penghuni kantor mengerjakan sebuah peran, atau sebuah hubungan kontekstual dengan lainnya yang menjalankan harapan peran dari penanggungjawab kantor. Studi terkenal dalam teori peran adalah dalam sektor publik, khususnya studi superintendent sekolah (Gross, Mason, dan McEachern, 1958). Orang dan kelompok dalam peran superintendent meliputi peran internal lain seperti pengajar, kepala sekolah, dan anggota dewan sekolah, ataupun peran eksternal signifikan seperti orang tua, organisasi pengajar-orang tua, kelompok dan pimpinan bisnis, kelompok sosial dan fraternal, kantor pendidikan negara bagian, dan sebagainya. Superintendent sekolah bertindak berdasarkan harapan peran; dalam kondisi terbaik, harapan peran superintendent adalah akurat dan sebanding sehingga mereka mengetahui apa yang diharapkan orang lain dan menghasilkan kesesuaian dengan harapan peran orang lain. Sayangnya, ini jarang terjadi, dan superintendent terjebak, atau menilai dirinya terjebak, dalam persaingan harapan peran, seperti yang digambarkan dalam teori peran sebagai disonansi kognitif.
          Pakar teori peran menunjukkan bahwa pemain peran, seperti superintendent sekolah, cenderung salah menilai harapan peran orang lain. Biasanya, salah pengertian ini melebih-lebihkan kekuatan, durasi, dan spesifisitas posisi pihak lain dan menyebabkan kewaspadaan manajerial yang eksesif dan inersia organisasi.
          Tentu saja, konflik peran yang sebenarnya bisa terjadi. Ketika superintendent sekolah merasakan konflik peran yang tidak terpencahkan selama pembayaran, promosi, gaji, dan anggaran, mereka cenderung memiliki kepuasan kerja yang rendah dan akan merubah pekerjaan. Salahsatu kunci untuk sukses adalah kemampuan beberapa superintendent sekolah untuk tidak melebih-lebihkan harapan pihak lain dan menemukan kompromi guna mengurangi konflik.
          Level manajemen yang tinggi cenderung dikaitkan dengan peran beragam, dan kadangkala kelebihan peran. Manajer, meski begitu, cenderung merasa kepuasan kerjanya meningkat ketika perannya bertambah. Semakin banyak peran dari manajer, semakin besar kecenderungan untuk mencari solusi umum, solusi terprogram, atau jawaban satu-ukuran-untuk-semua. Semakin besar jumlah aturan, semakin besar kecenderungan untuk menggunakan otoritas dan sangsi dan untuk mencari satu efisiensi umum – seringkali berupa efisiensi jangka pendek.
          Henry Mintzberg menggunakan konsep peran untuk mengenali tiga peran manajerial primer, yang menjadi sebuah kategori yang banyak digunakan dalam teori manajemen untuk bisnis tapi diterapkan pada manajemen dalam administrasi publik. Manajer dalam peran interpersonalnya bertindak sebagai figur penting yang mengerjakan tugas simbolik, sebagai pimpinan yang membuat hubungan dengan bawahannya, atau sebagai penghubung yang menitikberatkan kontrak pada wilayah organisasi. Dalam peran informasinya, manajer bertindak sebagai monitor yang mencari informasi yang berguna, sebagai diseminator yang mengirimkan informasi secara internal atau sebagai pembicara yang memberikan informasi keluar organisasi. Dalam peran manajerialnya, manajer adalah pengusaha yang mengajukan dan mendorong inovasi, sebagai penghancur hambatan, sebagai alokator resource, atau sebagai negosiator. Berdasarkan karakteristik personal dan kebutuhan organisasi pada titik waktu tertentu, manajer memperhatikan kombinasi karakteristik peran (Mintzberg, 1992).
          Ada tiga deskripsi administrasi publik tentang beberapa kombinasi peran tersebut: Mark H. Moore (1995) dengan Creating Public Value: Strategic Management in Government; John M. Bryson dan Barbara Crosby (1992) dengan Leadership for the Common Good: Tackling Public Problems in a Shared-Power World; dan Barry Bozeman dan Jeffrey D. Straussman (1991) dengan Public Management Strategies: Guidelines for Managerial Effectiveness. Masing-masing menghasilkan beberapa teori sektor publik yang seperti yang dikembangkan Mintzberg untuk bisnisnya.