Saturday, March 13, 2010

TEORI KOMUNIKASI


Teori Komunikasi
Banyak dari apa yang dipahami oleh manajemen publik berasal dari komunikasi efektif. Teori komunikasi adalah sebuah campuran dari sibernetik, linguistik, dan psikologi sosial. Bahasa teori komunikasi menyerupai bahasa teori sistem: input, throughput, output, loop feedback, entropi, homeostasis. Meskipun komunikasi selalu individu atau tunggal, pakar teori komunikasi cenderung menyebut kelompok kerja atau organisasinya sebagai unit analisis, dan dalam melakukan itu, mereka melakukan anthropomorphisme terhadap organisasi. Pikiran anthropomorphik memunculkan dugaan organisasi, memori organisasi, kesadaran organisasi, budaya organisasi, kemauan organisasi, dan khususnya pembelajaran organisasi – yang semuanya didasarkan pada komunikasi. Logika ini bisa membantu menghasilkan sebuah teori komunikasi manajemen, yang nantinya menjadi sebuah pengetahuan (Garnett, 1992).
Teori komunikasi yang ditemukan dalam administrasi publik menunjukkan bahwa komunikasi paling bawah, atau komunikasi dengan bawahan, menitikberatkan pada arahan tugas dan kebijakan dan prosedur organisasi. Komunikasi misi lembaga dan feedback kinerja seringkali diabaikan, hasilnya adalah moral rendah, kesukaan pada tugas rutin, dan persamaan dengan kinerja lembaga (Garnett, 1992). Manajer publik melebih-lebihkan kekuatan komunikasi lewat memoranda, e-mail, telepon, dan saluran lainnya, dan meremehkan kekuatan komunikasi langsung lewat tindakan manajerial. Penggunaan model internal dari efektivitas atau contoh kesuksesan organisasi adalah sarana efektif dari pembelajaran organisasi. Komunikasi efektif bisa terjadi ketika manajer membuat standar kerja lewat sarana kolektif dan memberikan feedback tentang kinerja seperti yang terukur menurut standar yang telah disetujui. Dengan membuat saluran menjadi jernih untuk komunikasi ke atas adalah sebuah penguat dalam teori komunikasi, seperti juga kepentingan dari saluran komunikasi yang redundan, multipel, dan saling terkait yang menurun, ke atas, dan lateral (Garnett, 1992).
Komunikasi efektif dengan lembaga lain dan dengan publik lembaga adalah sebuah fitur dari teori komunikasi manajerial. Komunikasi antar organisasi adalah yang paling sering berkaitan dengan perspektif pelatihan profesional dan dengan pelatihan reguler. Dalam sebuah area metropolitan, direktur pekerjaan publik kota, kepala polisi, kepala pemadam kebakaran, dan administrator kota seringkali berkomunikasi secara formal dan informal dengan rekannya; jaringan komunikasi lateral seringkali kuat dan tahan lama. Kadangkala dikatakan bahwa direktur pekerjaan publik kota menghabiskan lebih banyak waktu berkomunikasi dengan direktur pekerjaan publik kota lainnya dalam sebuah area metropolitan daripada dengan kepala lembaga lain di dalam pemerintah kotanya (Frederickson, 1997b). Komunikasi lateral dan koordinasi dalam organisasi kompleks dibantu dengan menugaskan orang penting kepada tanggungjawab yang disebut lynch-pin (Likert, 1961, 1967).
Komunikasi dengan publik eksternal biasanya melibatkan segmentasi publik dan prosedur berdesain khusus untuk komunikasi oleh posisi lembaga, kinerja, jasa, dan seterusnya. Komunikasi lembaga dengan sebuah kelompok kepentingan akan berbeda dari komunikasi dengan lembaga legislatif atau komite, atau anggota individu dari lembaga tersebut, contohnya. Komunikasi lembaga dengan publik yang efektif berkaitan dengan penerimaan dan pengiriman sinyal, dimana sebagian besar lembaga jauh lebih baik dalam menerima sinyal daripada mengirim sinyal. Pesan datang seringkali disaring ketat, sehingga manajer lembaga menerima sedikit dan potongan informasi dan seringkali tidak memahami substansi atau makna dari sinyal dari publik. Pendengaran selektif adalah masalah persisten dalam organisasi publik (Garnett, 1992).
Kemajuan paling signifikan dalam teori manajemen dari tahun 1950-an sampai 1970-an adalah dalam mengembangkan dan menguji teori menengah seperti teori kelompok, peran dan komunikasi. Sebagian besar dari upaya tersebut dijalankan dalam studi manajemen bisnis, bukan manajemen publik dan sekarang telah banyak ditemukan dalam literatur. Teori menengah, dan khususnya teori kelompok, peran, dan komunikasi, sekarang ini menjadi jalur teori manajemen dalam bisnis dan administrasi publik.
Teks Simon, Smithburg, dan Thompson yang dipublikasikan di tahun 1950 adalah yang di depan persaingan, dari dulu sampai sekarang, karena ini menggunakan teori menengah. Teks tersebut adalah sumber sebagian besar perkuliahan fakultas tentang teori manajemen dalam sektor publik (Simon, 1991). Sebagian besar teks yang ditulis di tahun 1970-an, 1980-an, dan 1990-an, menilai fungsi staff anggaran dan personel sebagai jika kesemuanya adalah manajemen, dan sebagian besar tidak menggunakan perlakuan terpisah untuk teori manajemen, dan membiarkan teori menengah memberikan kontribusi untuk itu.
Penggunaan paling lengkap dari teori menengah dalam administrasi publik ditemukan dalam Administrative Organization oleh James Pfiffner dan Frank P. Sherwood (1960). Penulisnya membuat struktur formal organisasi publik dan kemudian menggunakan konsep overlay untuk menggambarkan bagaimana organisasi bertindak dan bagaimana manajer berfungsi. Overlay menggambarkan modifikasi proses dan kondisi dan bagaimana ini mempengaruhi perilaku dan hasilnya. Sebuah organisasi publik, contohnya, dianggap memiliki “overlay kelompok” yang penting yang memberikan informasi perilaku kelompok bagi manajer; seorang manajer efektif harus memiliki teori kelompok mendasar untuk membantu menghasilkan keputusan dan tindakan manajemen. Ada juga overlay peran, overlay komunikasi, overlay pemecahan masalah, dan yang paling penting, overlay kekuatan. Buku Pfiffner dan Sherwood digunakan sebagai penggunaan teori manajemen paling lengkap dalam administrasi publik sampai setengah abad. Persediaannya dalam cetakan dari 1960 sampai 1967 adalah bukti kurangnya kepentingan dalam subyek manajemen dalam administrasi publik pada era tersebut.
Berita baiknya adalah bahwa teori manajemen menjadi kembali; bergerak maju sampai akhir tahun di abad 20. Kita memulai dengan pertanyaan berikut: Setelah lima puluh tahun, apakah teori keputusan positivistik dari Simon menepati janji akan teori yang diverifikasi secara empirik? Christopher Hood dan Michael Jackson (1991) berpendapat bahwa hasil ini mengecewakan pada tiga hitungan: Pertama, prinsip lama dari manajemen – pepatah Simon – tetap bertahan dan bahkan berkembang; kedua, tidak ada teori atau paradigma manajemen yang diterima umum atau yang disetujui dalam administrasi publik yang didasarkan pada teori keputusan; ketiga, ilmu administratif positivistik dari teori keputusan memberikan sedikit efek terhadap praktek setiap hari dari manajemen publik, dan bahasa, argumen, dan pengaruh prinsip manajemen dalam organisasi publik tetap bersifat “proverbial”. Ini sepertinya bahwa serangan Simon terhadap pendekatan proverbial pada administrasi tidak pernah ada, karena adanya semua pengaruh praktikal pada argumen administratif” (Hood dan Jackson, 1991).
Dengan berdasar kritik “ilmu pengetahuan yang campur aduk (muddling through)” terhadap teori keputusan, Charles Lindblom, dengan David K. Cohen, menemukan bahwa “penelitian sosial profesional” seperti ilmu keputusan jarang mempengaruhi kebijakan publik atau administrasi publik (1979). Tapi, proses interaktif dari argumen, perdebatan, penggunaan pengetahuan umum, dan bentuk pembelajaran sosial atau organisasi bukan hanya bentuk umum dari pemecahan masalah sosial, tapi juga lebih aman dan kurang menjadi resiko atau error skala besar. Giandomenico Majone, dalam Evidence, Argument, and Persuasion in the Policy Process (1989), menunjukkan bahwa keahlian analisis kebijakan dan kapasitas untuk terlibat dalam pemecahan masalah publik adalah bentuk dari sebuah dialektik yang sama dengan argumen atau perdebatan dari partisipan umumnya. Dialektik ini tidak seperti temuan otoritatif dari seorang ilmuwan dan lebih seperti perdebatan atau argumen pengacara.
Terakhir, sebagai sebuah metodologi penelitian dan sebuah epistemologi, positivisme kurang diterima secara universal daripada di pertengahan abad sebelumnya. Sebagian karena ini tidak menepati janjinya. Yang lebih penting, positivisme, khususnya positivisme logika yang membedakan antara nilai dan fakta, seringkali gagal mempertimbangkan nilai, norma, dan filosofi politik tradisional, dan kadangkala tidak mengenalinya. Positivisme dan meriam metodologi ilmu sosial dan epistemologi cenderung mendominasi perspektif akademis tentang teori manajemen dalam administrasi publik. Dalam praktek administrasi publik, meski begitu, positivisme kurang berpengaruh.
Sebagai cara untuk membedakan antara prinsip manajemen publik yang diverifikasi secara ilmiah dan prinsip yang mudah dipahami dan diterima, Hood dan Jackson berpendapat bahwa prinsip bisa dipahami secara lebih baik sebagai doktrin; dan sebagai doktrin, ini berpengaruh baik dalam perdebatan dan pelaksanaan kebijakan. Doktrin tersebut, menurut Hood dan Jackson, memiliki enam fitur: (1) Doktrin tersebut luas, ditemukan dimanapun organisasi berada; (2) merupakan “pandangan yang diterima” atau “kebijaksanaan yang diterima” yang terus berubah, yang berhubungan dengan metaphora, retorika, kemasan, dan presentasi, dan kurang berkaitan dengan keunggulan ilmiah yang obyektif atau konklusif dari satu pandangan daripada lainnya; (4) seringkali kontradiktif; (5) tidak stabil, cenderung berubah dan menjadi gaya pembuat rasa; (6) cenderung berotasi – ide lama yang berpakaian baju baru.
Tidak seperti prinsip dengan verifikasi ilmiah, doktrin ini diterima dengan alasan yang dijelaskan bukan oleh data kasar tapi dengan teknik analitik yang berkaitan dengan retorika. Dalam retorika, orang meyakinkan atau mempengaruhi orang lain dengan membuat solusi linguistik terhadap sebuah masalah, atau “memberi nama” masalah tersebut dalam sebuah cara yang menghasilkan persetujuan terhadap wacana aksinya. Penggunaan metaphora adalah kuncinya karena semua institusi disebut “paradigma kognitif” yang didasarkan pada persamaan pemahaman dan makna. Orang berpikir dalam seputar perdebatan aborsi di United States. Selama pemilihan presiden, Bill Clinton menyatakan bahwa “Saya secara pribadi menentang aborsi. Aborsi, meski begitu, seperti hukum tanah, tapi bila diberlakukan ini harus aman, dan jarang diberlakukan”; dengan mengulangi pernyataan tersebut, dia menemukan sebuah posisi tengah yang bisa diterima oleh sebagian besar pihak, meski bukan pihak dalam kelompok ekstrim.
Retorika membutuhkan penggunaan ambiguitas, penentuan posisi umum yang dapat dilihat dari spektrum luas dari posisi publik. Posisi tersebut harus sesuai dengan kebaikan umum atau yang lebih besar. Argumen tersebut bersifat selektif, yang berarti bahwa bukti harus ada untuk mendukung argumen, dan bila tidak, bukti tidak dibutuhkan. Supaya retorika tersebut sukses, pihak yang mendengarkannya atau menyaksikannya harus mau menahan ketidakpercayaannya, seperti ketika melihat theater yang bagus (Hood dan Jackson, 1991). Sebuah doktrin seperti “sebuah pemerintah yang bekerja lebih baik dan berbiaya sedikit” memiliki sebuah tampilan retorika kuat, menjadi ‘solusi’ bagi nilai kontemporer, bersifat ambigu, didukung oleh praktek terbaik terpilih, ditentukan dengan kebaikan lebih besar, dan berbiaya rendah meski jarang terjadi. Sifat tersebut membuat orang mencabut ketidakpercayaannya.
Masalahnya, tentu saja, adalah bahwa sebuah teori manajemen dalam administrasi publik yang didasarkan pada sebuah epistemologi dikatakan di luar phase (usang) menurut definisi ilmu pengetahuan biasa. Model “doktrin manajemen” yang menggunakan logika retorika adalah versi postmodern dan retrograde up-to-date dari deskripsi Aristoteles tentang solusi linguistik terhadap masalah sosial (1932). Dari perspektif orang yang melakukan pembuatan kebijakan dan administrasi publik, logika doktrin manajemen adalah sebuah penentuan teoritik yang mendekati realita – lebih dekat daripada teori pilihan rasional atau pembuatan keputusan – tapi teori keputusan ini lebih banyak terkait dengan akademisi.
Doktrin administrasi dapat digambarkan dalam cara berikut. (Ini adalah versi doktrin adaptasi, simplifikasi, dan kondensasi yang dituliskan Hood dan Jackson).

  1. Doktrin skala

    1. Besar-menengah-kecil

    2. Sentralisasi-desentralisasi



  1. Doktrin penyediaan jasa (bagaimana pengaturan dan pengelolaannya)

    1. Jasa pemerintah langsung

    2. Kontrak luar

    3. Privatisasi

  2. Doktrin penyediaan jasa (warga negara atau pilihan klien)

    1. Paksaan biaya dan keuntungan

    2. Memberikan pilihan biaya atau keuntungan

  3. Doktrin spesialisasi

    1. Menurut karakteristik kerja

    2. Menurut karakteristik klien

    3. Menurut lokasi

    4. Menurut proses

    5. Menurut tujuan

  4. Doktrin Kontrol

    1. Dengan input-anggaran, ukuran staff

    2. Dengan proses

    3. Dengan persaingan

    4. Dengan standar praktek profesional

    5. Dengan output

    6. Dengan hasil

    7. Politik langsung

    8. Administrasi langsung

  5. Doktrin diskresi

    1. Menurut hukum dan regulasi

    2. Menurut kebebasan profesional

    3. Deregulasi

    4. Pengambilan resiko

  6. Doktrin pekerjaan

    1. Seleksi dan promosi menurut jasa

    2. Seleksi oleh perwakilan kelompok

    3. Seleksi menurut keahlian teknis

    4. Seleksi menurut keahlian administrasi

    5. Seleksi menurut keahlian budaya

  7. Doktrin Leadership

    1. Leadership politik langsung

    2. Leadership administratif langusng

    3. Kompetensi netral/keahlian profesional

    4. Entrepreneurial/advokasi

  8. Doktrin Tujuan

    1. Pelaksanaan hukum

    2. Institusi yang tertib dan handal

    3. Dukungan perubahan

    4. Nilai tambah
Cara lain untuk berpikir tentang doktrin manajemen publik adalah beralih ke pertanyaan manajemen: Dalam kondisi apa kompetensi netral dan keahlian profesional menjadi lebih penting daripada responsivitas politik? Di lain pihak, dalam kondisi apa responsivitas politik menjadi lebih penting daripada kompetensi netral dan keahlian profesional? Apa yang menjadi masalah teknologi, geographik, dan manajerial yang menentukan apakah sebuah organisasi melakukan sentralisasi atau desentralisasi? Apa yang menjadi kriteria atau standar penunjukkan dan promosi dalam pekerjaan publik? Berapa banyak diskresi untuk birokrat street-level dan manajernya? Pertanyaan tersebut, yang diringkas sebagai doktrin, dijawab dengan prinsip sebelumnya dan doktrin kontemporer. Pertanyaan ini pada dasarnya sama, tapi jawabannya berbeda. Tabel berikut membandingkan jawaban terhadap pertanyaan yang ditemukan dalam prinsip tradisional dan kontemporer:
TABEL 5.2. Perbandingan Prinsip Tradisional Dan Kontemporer Dari Manajemen Dalam Administrasi Publik
Doktrin
Prinsip Tradisional
Prinsip Kontemporer
Skala
Besar-tersentral
Kecil-desentralis
Ketentuan Jasa
Jasa pemerintah langsung
Paksaan biaya dan keuntungan
Kontrak luar
Pilihan dalam biaya dan keuntungan
Spesialisasi
Menurut karakteristik kerja
Menurut proses dan tujuan kerja
Menurut karakteristik klien
Menurut lokasi
Kontrol
Dengan standar praktek profesional
Dengan input (anggaran, ukuran staff)
Dengan output, proses
Dengan administrasi
Dengan persaingan
Dengan hasil
Dengan administrasi
Diskresi
Menurut hukum, regulasi
Menurut kebebasan profesional
Menurut deregulasi
Menurut pengambilan resiko
Pekerjaan
Menurut pengabdian, tindakan afirmatif, keahlian teknis
Sama
Leadership
Berdasar kompetensi netral
Keahlian profesional
Berdasarkan advokasi entrepeneurial
Tujuan
Untuk menjalankan hukum. Untuk mengelola institusi secara tertib dan handal
Untuk memudahkan perubahan
Untuk menciptakan nilai publik

Literatur modern tentang manajemen dalam administrasi publik menggambarkan bagaimana prinsip tersebut muncul kembali. Semuanya menggunakan logika retorika, “bukti” empirik berdasar kasus selektif, dan jenis semangat misionaris (Graham dan Hays, 1993; Rainey dan Steinbauer, 1999; Osborne dan Gaebler, 1992; Barzelay, 1992; Cohen dan Eimicke, 1995). Seringkali missionaris, bukan politisi, konsultan, dan akademisi, merasa mudah melakukannya jika ada setan, kerajaan setan, atau straw man. Dalam teori manajemen publik, setannya adalah BIROKRASI. Doktrin manajemen publik yang disukai dianggap sebagai cara untuk “menghilangkan birokrasi atau memunculkan kembali pemerintah; bagaimana semangat entrepreneurial bisa merubah sektor publik dari schoolhouse menjadi statehouse, balai kota menjadi Pentagon” (Osborne dan Gaebler, 1992). Doktrin ini dipertegas, seperti delapan puluh tahun yang lalu, dengan temuan apa yang disebut praktek terbaik daripada ilmu sosial replikasinya (Osborne dan Gaebler, 1992; Cohen dan Eimicke, 1995). Prinsip modern dari manajemen publik entrepreneurial sekarang menjadi sebuah hegemoni dalam praktek administrasi publik.
Doktrin ini diberi nama “New Public Management” (NPM) dan kadangkala disebut sebagai “manajerialisme baru”. Ini memiliki basis kuat di Eropa Barat, Australia, dan Selandia Baru, ataupun di United States. Organization for Economic Cooperation and Development adalah pendukung kuat dari New Public Management dan mendorong negara untuk menggunakan prinsip tersebut. Meskipun ada kritik ekstensif dalam New Public Management, ini adalah sebuah generalisasi yang aman bahwa prinsip bisa diterima luas dalam praktek modern administrasi publik (Frederickson, 1997a). Apakah aplikasi prinsip tersebut adalah pemerintah yang lebih baik, dan khususnya pemerintah yang lebih baik untuk siapa, masih menjadi perdebatan. Tidak diragukan bahwa aplikasi prinsip awal dari manajemen menghasilkan pemerintah yang lebih bersih, efisien, dan profesional. Tapi dengan itu didapatkan pemerintah yang lebih besar dan lebih mahal. Hanya waktu yang bisa memberitahu apakah prinsip New Public Management akan menepati janjinya.
Menurut teori tersebut, didapatkan kesimpulan. New Public Management sangat berpengaruh dalam praktek administrasi publik. Dalam waktu postmodern dan retorika, New Public Management dapat dijelaskan dan dipahami sebagai doktrin manajemen yang bisa diterima. Tapi, meriam ilmu sosial menghendaki adanya identifikasi tepat terhadap variabel yang ada, presisi lebih banyak dalam hubungan antara variabel, presisi lebih besar dalam pengukuran, dan replikasi temuan yang lebih besar. Penelitian yang menggunakan teknik ini menunjukkan bahwa prinsip New Public Management menghasilkan peningkatan efisiensi yang selektif dan jangka pendek; berhubungan negatif dengan kejujuran, kesetaraan, atau keadilan; jarang mengurangi biaya; dan menghasilkan sejumlah cara inovatif untuk mencapai tujuan publik atau kolektif (Berry, Chackerian, dan Weschler, 1995; DiIulio, Garvey, dan Kettl, 1993).



Leadership Sebagai Manajemen Publik
Aspek paling menarik dari kebangkitan manajemen dalam administrasi publik adalah keutamaan leadership sebagai sebuah ide yang melegitimasi dan memberdayakan. Sumber literatur kontemporer tentang leadership dalam administrasi publik ditemukan dalam pemikiran kebijakan publik atau studi kebijakan. Sebagian besar ditentukan pada tahun 1970-an pada banyak universitas terkenal di Amerika, yang beberapa di antaranya mengganti atau menggunakan program kelulusan dalam administrasi publik. Dari situ dibentuk American Association for Policy Analysis, yang selanjutnya berubah menjadi American Association for Policy Analysis and Management, dan pada tahun keenam belas menghasilkan Journal of Policy Analysis and Management. Satu bagian dari metodologi yang disetujui atau dipahami adalah studi kasus, yang didukung dengan observasi partisipan, yang dimaksudkan untuk menghindari “tangan kematian dari ilmu sosial”. Analisis kebijakan, dan khususnya alat ekonomi mikro, adalah bentuk metodologi kedua. Pendekatan tersebut bersifat antar disipliner, menurut deskripsi ilmu kebijakan Lasswell.
Di beberapa tahun sebelumnya, pemikiran yang berasal dari studi kebijakan berisi analisis kasus dan kebijakan, dan yang paling terkenal adalah deskripsi Graham Allison tentang pembuatan kebijakan sebagai politik birokratik selama Krisis Misil Kuba (Allison, 1971). Dalam perspektif Allison, politik birokratik berarti bercampur dengan ahli luar, agensi, atau pejabat departemen, dan pejabat politik (biasanya ditunjuk bukan dipilih) untuk memecahkan masalahnya. Politik birokratik bisa menjadi cara yang disukai untuk menteorikan peran manajer publik dalam membuat kebijakan; yang dimaksudkan untuk membuat teori tentang manajemen keseharian dari sebuah biro atau sebuah kantor. Birokrat, dalam kebijakan tinggi, dianggap sebagai leader, menurut perspektif melegitimasi. Setiap waktu, pendekatan leadership kepada manajemen bisa muncul dan berkembang secara penuh. Leadership adalah salahsatu topik dalam ratusan kasus yang digunakan dalam Program Kasus Pemerintah Kennedy School. Studi manajemen dalam pelajaran kebijakan menjadi studi tentang apa yang dilakukan leader, bukan studi tentang teori manajemen, baik dalam bentuk orisinil atau kontemporer.
Robert D. Behn menggambarkan leadership sebagai kunci terhadap peningkatan kinerja dalam Program Kesejahteraan, Pelatihan, dan Pekerjaan Massachusetts (1991). Kualitas pendidikan dalam sekolah dasar bisa ditemukan dalam leadership (Meier, Wrinkle, dan Polinard, 1999). Apa yang menentukan kualitas sebuah penjara? Leadership (Di Iulio, 1987). Menurut Cooper dan Wright, peran legendaris dari Robert Moses dan Austin Tobin dalam perkembangan New York Port Authority perlu dicermati di sini (1992) (Cooper dan Doig). Ada juga studi impresif dari William Ruckelshous (Dobel, 1992); Elmer Staats (Frederickson); C. Everett Koop (Bowman); Elsa Porter (Radin); Marie Ragghiaonti (Hejka-Ekins); Beverly Myers (Stivers, 1992); George Marshall dan I. Edgar Hoover (Hart dan Hart); dan George P. Hartzog (Sherwood) dalam Cooper dan Wright (1992); Bahkan Daryl Gates, sheriff Los Angeles County, sebelum insiden Rodney King di 1996 pernah digambarkan sebagai leader (Moore, 1995)
Perbedaan antara leadership dan manajemen kadangkala ditemukan dalam kalimat Warren Bennis dan Buert Nanus yang terkenal, “manajer melakukan sesuatu dengan benar, leader melakukan sesuatu yang benar” (1985). Bennis dan Nanus (1985) berpendapat bahwa ada banyak manajemen dan tidak banyak leadership, khususnya dalam bisnis Amerika. Heiferz menggunakan teori kelompok dan teori komunikasi untuk merumuskan sebuah argumen perseptif bahwa leadership adalah yang membantu kelompok dan organisasi untuk menjalankan “pekerjaan adaptif” dan yang khususnya sulit dilakukan dari posisi otoritas (1994). Tidak banyak bukti yang meyakinkan bahwa ada perbedaan penting antara leadership dan manajemen, selain label beberapa hal sebagai leadership dan dianggap penting, dan lainnya diberi label manajemen yang dianggap kurang penting.
Dalam gambaran lebih besar, emphasis pada leadership dalam administrasi publik seringkali dipengaruhi oleh kebangkitan dalam studi leadership dalam banyak bidang dan disiplin.
Dua perlakuan terbaik untuk manajemen publik sebagai leadership adalah dari Mark H. Moore dengan Creating Public Value: Strategic Management in Government (1995) dan koleganya di Kennedy School of Government di Harvard, Ronald Heifitz dengan Leadership Without Easy Answers (1994). Mereka tidak menggunakan prinsip manajemen, meskipun referensi Moore banyak diperoleh dari literatur New Public Management. Karakteristik atau kualitas leadership yang ditunjukkan Moore setelah membahas banyak studi kasus dalam koleksi Harvard adalah:
Sebagai sebuah jenis tertentu dari kesadaran: ini bersifat imajinatif, bertujuan, mengandung upaya, dan perhitungan. Ini semua menfokuskan pada peningkatan nilai organisasi di mata masyarakat luas. Dalam mencari nilai tersebut, pemikiran diarahkan pada kondisi konkrit dalam mencari peluang sekarang untuk besok. Berdasarkan potensi yang dilihat, ini menjadi ukuran dari apa yang dilakukan; bagaimana mendefinisikan tujuan, membuat hubungan dengan pengawas dan coproducer politik, dan menciptakan arahan kerja organisasi. Selanjutnya, yang paling menonjol, ini akan bergerak ke depan dan melakukan seperti yang telah diukur.
Temuan ini adalah sebuah versi leadership dari penelitian praktek terbaik yang ditemukan di literatur New Public Management, dan didasarkan pada observasi langsung yang menggambarkan sebuah kejadian yang sulit diulangi. Ini adalah teori yang didasarkan pada temuan kualitatif yang lunak, yang sulit diulangi, dan sulit menghasilkan temuan atau kesimpulan dari pengetahuan atau data. Penelitian ini adalah serangkaian potret sekilas tentang apa yang terjadi dan bagaimana ini terjadi dalam satu kasus.
Mungkin cara lebih baik untuk melihat kerangka ini adalah dari anthropologi budaya, dimana ada asumsi, pertama, bahwa “realita’ adalah konstruksi sosial, bukan sebuah sesuatu atau phenomena yang obyektif yang sama untuk semua pengamat; dan kedua, bahwa organisasi adalah sebuah sistem dari makna yang dibuat secara sosial dan disusun secara kognitif (Lynn, 1996; Boisot, 1986; Weick, 1995). Bentuk pengetahuan ini adalah tidak tertulis, yang dipahami tapi tidak terucap, tapi diterima secara umum; ini juga dianggap tidak jelas, ambigu, dan tidak pasti, tapi seringkali menjadi acuan penting untuk perilaku. “Pengetahuan yang berkode (tersusun), sebaliknya, lebih bersifat impersonal, kurang berkaitan dengan sosialisasi atau pengalaman tapi berkaitan dengan keahlian dalam pikiran abstrak atau alasan linear” (Lynn, 1996).
Laurence E. Lynn, Jr., membuat observasi informatif dalam bentuk teori manajerial berikut:
Beberapa tipe pengetahuan muncul lebih mudah, karena lebih linear dan impersonal daripada lainnya. Pertimbangan tentang kehormatan dan kepercayaan tidak berpengaruh apapun. Kita bisa menyebut pengetahuan ini sebagai “ilmiah” atau “teknokratik”. Pengetahuan yang tidak berkode (tidak tersusun) dan tidak disebarkan, seperti pengetahuan intuitif tidak tertulis tentang manajer yang bijaksana dan berpengalaman yang berkomunikasi dalam forum tatap muka dan lewat contoh perilaku, adalah yang sulit dikuasai dalam cara konvensional karena ada pertimbangan lain selain logika dan literal. Kita menyebut keahlian yang sulit-didapatkan ini sebagai ‘artistik’.
Karena pengetahuan berkode, teknokratik, pelajaran universitas, workshop yang diawasi, dan masalah atau tugas formal lainnya, semuanya menitikberatkan pada pencapaian tujuan individu, maka ini bisa menjadi pendekatan paling efisien untuk pembelajaran. Karena pengetahuan artistik, tidak tertulis, mentorship, apprentichesip, dan internship, cenderung mengarah pada sosialisasi – dan mungkin menjadi pengalaman on-the-job yang panjang – ini menjadi cara paling efisien untuk menghasilkan pembelajaran. Bila tipe pengetahuan tersebut, atau integrasinya, dibutuhkan untuk sukses, pengalaman dalam situasi kerja yang melibatkan kebutuhan sosial dan intelektual – contohnya, diskusi kasus yang membutuhkan aplikasi campuran kerangka analitik – bisa menjadi pendekatan yang tepat untuk pembelajaran.

2 comments:

Unknown said...

kalau bisa di tambahin juga daftar pustakanya biar referensi bisa ditelusuri

wahyumardiansyah said...

Cukuplah

Post a Comment